Presiden terpilih Donald Trump telah mengajukan pendekatan baru terkait polemik TikTok di Amerika Serikat menjelang pelantikannya sebagai presiden pada 20 Januari 2025. Trump mengajukan dokumen hukum ke Mahkamah Agung, meminta penundaan penerapan undang-undang yang mengharuskan aplikasi TikTok dijual oleh perusahaan induknya, ByteDance, yang berbasis di China. Permintaan ini bertujuan untuk menghindari pemblokiran aplikasi yang dijadwalkan sehari sebelum pelantikannya.
Selama masa jabatan pertamanya pada 2017-2021, Trump dikenal keras terhadap TikTok, menganggap aplikasi berbagi video itu sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Ia berusaha melarang TikTok dengan alasan kekhawatiran bahwa pemerintah China dapat menggunakan platform tersebut untuk mengakses data pengguna Amerika Serikat atau memanipulasi konten yang disajikan kepada pengguna. Saat itu, Trump mendesak ByteDance untuk menjual TikTok kepada perusahaan AS dan bahkan mengusulkan agar sebagian hasil penjualan masuk ke pemerintah AS. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil hingga akhir masa jabatannya.
Kini, menjelang masa jabatan keduanya, Trump tampaknya mengadopsi sikap yang lebih lunak. Dalam dokumen yang diajukan ke Mahkamah Agung, yang dikenal sebagai amicus curiae atau “teman pengadilan,” tim hukum Trump menyatakan bahwa ia tidak memihak dalam sengketa hukum TikTok saat ini. “Presiden Trump tidak mengambil posisi atas substansi hukum dalam kasus ini,” tulis John Sauer, pengacara Trump, dalam dokumen tersebut.
Sebagai gantinya, Trump meminta pengadilan untuk menunda tenggat waktu divestasi TikTok hingga 19 Januari 2025. Menurut Sauer, penundaan ini diperlukan agar pemerintahan baru Trump memiliki kesempatan untuk mencari solusi politik atas masalah ini. “Dia dengan hormat meminta pengadilan untuk menunda tenggat waktu dalam undang-undang divestasi hingga pengadilan memutuskan perkara ini, sehingga memberikan ruang bagi pemerintahan yang akan datang untuk mengejar penyelesaian politik atas permasalahan tersebut,” tambah Sauer.
Perubahan sikap Trump terhadap TikTok juga menarik perhatian. Dalam wawancara dengan Bloomberg, Trump mengungkapkan bahwa pandangannya tentang aplikasi tersebut telah berubah. Ia kini menganggap TikTok penting untuk menjaga persaingan di dunia media sosial. “Saya mulai berpikir ulang. TikTok memiliki peran penting, karena Anda membutuhkan persaingan,” ujar Trump. “Tanpa TikTok, Anda hanya memiliki Facebook dan Instagram—itu semua tentang Zuckerberg.”
Sikap ini berbeda dengan langkah-langkah yang diambil oleh penerus Trump, Presiden Joe Biden, yang memperkuat regulasi terhadap TikTok. Biden bahkan menandatangani undang-undang yang melarang aplikasi tersebut dengan alasan serupa, yaitu potensi ancaman keamanan nasional.
Melalui langkah hukum terbarunya, Trump tampaknya ingin memberikan ruang untuk negosiasi dan kemungkinan resolusi yang lebih fleksibel terkait isu TikTok. Permintaan ini juga mencerminkan pengakuan akan pentingnya platform tersebut dalam menjaga ekosistem persaingan di dunia digital. Bagaimanapun, kasus ini menjadi sorotan global, karena melibatkan konflik kepentingan antara politik, teknologi, dan kebijakan keamanan.

Berfokus pada penyediaan informasi terkini dan komprehensif mengenai berbagai isu hukum, regulasi, dan kebijakan di Indonesia.