Setelah terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menunjuk Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX, untuk memimpin Departemen Efisiensi Pemerintah (Department of Government Efficiency/DOGE). Langkah ini, yang dipandang sebagai hadiah atas dukungan Musk selama pemilihan presiden, bertujuan untuk merestrukturisasi badan-badan federal, memangkas pengeluaran, dan mengurangi birokrasi. Vivek Ramaswamy, seorang pengusaha farmasi, ditunjuk sebagai co-lead departemen tersebut.
Namun, penunjukan ini segera memicu kontroversi dan perdebatan hukum. DOGE, yang berperan sebagai penasihat eksternal Gedung Putih, berada di luar struktur pemerintahan resmi. Kekuatan yang diberikan kepada Musk memicu kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan wewenang, terutama karena ia tidak terdaftar sebagai pegawai federal atau pejabat pemerintah pada awalnya.
Senator Elizabeth Warren dari Partai Demokrat mengecam penunjukan tersebut, dengan menyatakan, “Tidak ada yang memilih Elon Musk”. Komite Anggaran dan Sarana DPR AS dari Partai Demokrat mengadakan sidang darurat untuk membahas masalah ini, mengkritik DOGE sebagai upaya inkonstitusional untuk menggunakan kekuasaan presiden atas dana yang disetujui oleh Kongres. Senator Chris Van Hollen menyebut upaya pengambilalihan oleh Musk tidak akan berhasil.
Beberapa lembaga pemerintah AS bahkan menginstruksikan pegawai mereka untuk tidak langsung menanggapi permintaan Musk. Direktur FBI Kash Patel mengirimkan email kepada staf yang menyatakan bahwa FBI bertanggung jawab atas semua proses peninjauan. Langkah ini mengindikasikan adanya ketegangan antara pemerintahan Trump dan Musk terkait upaya pemangkasan jumlah pegawai federal.
Para ahli hukum juga menyuarakan keprihatinan tentang potensi implikasi hukum dari peran Musk. Mereka berpendapat bahwa pendekatan “bergerak cepat dan hancurkan sesuatu” yang diterapkan oleh Musk dapat merusak fungsi pemerintahan dan merugikan warga AS. Cordell Schachter, mantan kepala petugas informasi di Departemen Transportasi AS, memperingatkan bahwa tindakan semacam itu dapat menyebabkan kekacauan data dan pelanggaran privasi.
Selain itu, upaya Trump dan Musk untuk menutup lembaga seperti USAID memicu pertempuran hukum terkait kekuasaan kepresidenan AS. Pemutusan hubungan kerja massal dan tawaran pensiun dini juga menghadapi tantangan hukum dari serikat pekerja, negara bagian, dan karyawan individu, yang berpendapat bahwa hak-hak mereka telah dilanggar.
Sejumlah pakar hukum dari berbagai universitas di AS menyoroti isu ini. Profesor Hukum Konstitusi dari Universitas Harvard, Noah Feldman, berpendapat bahwa penunjukan Musk berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan jika ia menjalankan fungsi-fungsi yang secara konstitusional menjadi wewenang cabang eksekutif atau legislatif. Profesor Hukum Tata Negara dari Universitas Yale, Bruce Ackerman, menyatakan keprihatinannya tentang kurangnya pengawasan dan akuntabilitas terhadap Musk, yang dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Meskipun Trump membela penunjukan Musk dan menyatakan bahwa ia akan melapor kepadanya, banyak pihak tetap skeptis tentang efektivitas dan legalitas upaya Musk untuk merampingkan pemerintahan. Peningkatan pengeluaran pemerintah selama bulan pertama Trump menjabat menunjukkan bahwa Musk belum berhasil memperlambat laju pengeluaran.
Kontroversi seputar penunjukan Elon Musk sebagai penasihat pemerintah menyoroti ketegangan antara keinginan untuk efisiensi pemerintahan dan perlindungan prinsip-prinsip konstitusional. Implikasi hukum dan politik dari peran Musk kemungkinan akan terus diperdebatkan dan diperiksa dalam beberapa bulan mendatang.
Sumber
https://www.tempo.co/internasional/pns-as-mundur-massal-dari-doge-tolak-legitimasi-elon-musk-1212314
https://www.kompas.id/baca/internasional/2024/08/21/trump-menginginkan-elon-musk-masuk-kabinet
Mhd Rizky Andana Saragih, S.H













