Pernyataan PBB : Situasi Kemanusiaan di Gaza telah Mencapai Tingkat Bencana

Author PhotoAnisa Zaskia Noverina
03 Dec 2024
Gambar ilustrasi PBB (Alexandros Michailidis / Shutterstock.com)
Gambar ilustrasi PBB (Alexandros Michailidis / Shutterstock.com)

Pengantar 

Keadaan di Gaza telah mencapai titik puncak. Dengan konflik berkepanjangan, blokade ekonomi yang ketat, serangan militer yang telah menghancurkan infrastruktur, menghambat akses terhadap layanan dasar, dan menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa. Penduduk Gaza sedang menghadapi kekurangan pangan, air bersih, dan perawatan Kesehatan.  Tragedi memilukan juga terjadi di sebuah toko roti pada Jumat, 29 November 2024, ketika dua remaja meregang nyawa akibat berdesak-desakan dalam upaya mendapatkan roti. Situasi kelaparan di Gaza semakin memburuk akibat pembatasan drastis pasokan makanan oleh Israel.  

Dalam dua bulan terakhir, jumlah makanan yang diizinkan masuk ke Gaza mencapai titik terendah. Akses bantuan ke Gaza dibatasi secara ketat, dengan jumlah bantuan yang diterima saat ini dinilai sangat tidak mencukupi. Menurut UNRWA, hanya 65 truk bantuan yang berhasil masuk ke Gaza setiap harinya pada bulan lalu, jauh di bawah rata-rata 500 truk sebelum perang. Israel menggunakan taktik kelaparan sebagai senjata melawan penduduk Gaza, khususnya wanita dan anak-anak. Israel terus memberlakukan blokade ketat di Jalur Gaza, yang menghambat masuknya bantuan kemanusiaan dengan menutup akses perbatasan yang sangat penting.

PBB dan organisasi bantuan kemanusiaan melaporkan peningkatan penderitaan dan keputusasaan di kalangan penduduk Gaza yang sebagian besar bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup. Pemerintah Gaza menyatakan bahwa situasi kelaparan dan penderitaan di wilayah tersebut telah mencapai tingkat bencana yang serius.

Prinsip-prinsip fundamental hukum humaniter internasional, seperti prinsip pembedaan (memisahkan antara kombatan dan warga sipil), proporsionalitas (memastikan bahwa kerugian yang ditimbulkan tidak berlebihan), dan pencegahan (melindungi warga sipil dari bahaya), secara sistematis dilanggar dalam konflik di Gaza. Blokade tersebut membatasi akses penduduk Gaza terhadap barang-barang esensial, termasuk makanan, obat-obatan, dan bahan bangunan, yang menyebabkan penderitaan manusia yang tidak perlu.  Serangan militer yang menargetkan infrastruktur sipil, seperti rumah sakit dan sekolah, juga merupakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.  Serangan tersebut seringkali menyebabkan kematian dan cedera warga sipil, dan melanggar prinsip pembedaan dan proporsionalitas.

Pelanggaran Hukum Humaniter oleh Israel Terhadap Palestina

Hukum humaniter di buat untuk memanusiakan manusia saat masa perang, dengan tujuan. Perlindungan terhadap kombatan ataupun penduduk sipil, perlindungan Hak Asasi yang fundamental dan yang yang paling penting adalah Perikemanusiaan. Dengan mengetahui prinsip-prinsip HAM, hukum Humaniter dan prinsip yang terkandung dalam Piagam PBB. Konflik di Gaza tentu sangat bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam setiap ketentuan-ketentuan instrumen hukum baik dalam bidang HAM maupun Hukum Humaniter. 

Beberapa pelanggarannya zionis Israel selama konflik insiden bersenjata yang dilanggar berdasarkan asas-asas hukum humaniter. Pertama, Asas Kepentingan Militer (Military Necessity), Pasal 57 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa menjelaskan bahwa objek yang dapat diserang dalam suatu konflik bersenjata adalah objek militer dan kombatan. Korban sipil dan serangan yang ditargetkan terhadap objek sipil, termasuk infrastruktur dan target vital lainnya, harus dihindari. Namun kenyataannya, Israel juga menyerang objek-objek sipil seperti sekolah, rumah sakit, rumah penduduk, jaringan listrik dan lain-lain. Terputusnya jaringan listrik dan rusaknya rumah sakit di Palestina mengancam kelangsungan hidup warga sipil di sana, terutama anak-anak dan korban luka dalam serangan tersebut. Kedua, Asas Peri Kemanusiaan (Humanity), Tentara Israel beberapa kali melancarkan aksi yang melanggar ketentuan prinsip kemanusiaan, salah satunya adalah blokade bantuan kemanusiaan yang dikirim oleh berbagai organisasi internasional. terhadap konflik yang sedang berlangsung. Ketiga, Asas Proporsionalitas (Proportionality), Prinsip ini mengacu pada keseimbangan antara apa yang diperoleh dan apa yang diberikan dalam suatu konflik bersenjata. Dalam kasus konflik Palestina-Israel, terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dalam serangan balasan tentara Israel terhadap Jalur Gaza dalam serangan roket dan rudal Hamas ke wilayah Israel.

Peran PBB dalam Memberikan Bantuan Kemanusiaan

PBB sebagai entits internasional terbesar atau dikenal dengan nama United Nations (UN), merupakan sebuah badan internasional antar pemerintah yang berkomitmen untuk memelihara ketenangan serta keamanan dunia, membangun ikatan persahabatan di antara berbagai negara, dan mendorong kolaborasi global yang erat. PBB bertujuan menjaga perdamaian secara global, mempererat hubungan antarbangsa, memberikan bantuan bagi negara-negara untuk meningkatkan kesejahteraan warga termasuk mengatasi masalah kelaparan, penyakit, dan buta huruf, serta menyuarakan hak dan kebebasan individu. Beratnya situasi yang dihadapi oleh warga sipil akibat pertempuran itu berdampak pada rumah sakit, kekurangan pasokan obat-obatan semakin menipis. Krisis kemanusiaan yang dialami oleh rakyat Palestina, karena konflik yang berlarut larut, perselisihan yang terjadi antara Palestina dengan Israel telah berlangsung sejak lama, Arena perselisihan yang tajam karena upaya Palestina untuk menjadi Negara yang mandiri, sehingga akibat perselisihan menyebabkan banyak korban jiwa dan masyarakat sipil yang menderita karena perang atau yang biasa disebut dengan krisis kemanusiaan. Merespon situasi kemanusiaan di Gaza dan Israel, ICRC bekerja sama dengan mitra yang tergabung dalam keluarga besar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, yaitu: Bulan Sabit Merah Palestina, Magen David Adom di Israel dan Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. 

ICRC merupakan organisasi yang tidak memihak, netral dan mandiri yang mempunyai misi kemanusiaan untuk melindungi kehidupan dan martabat para korban kekerasan perang. ICRC telah mendapat mandat dari masyarakat Internasional melalui sebuah perjanjian yang bersumber pada Konvensi Jenewa 1949, ICRC telah banyak memberikan bantuan kemanusiaan di seluruh negara yang terkena konflik. Dalam menjalankan misinya tidak memihak pada negara manapun, karena ICRC merupakan organisasi yang netral dimana ICRC mempunyai status yang istimewa, siap untuk membantu negara manapun yang mengalami permasalahan kemanusiaan dimana negara tersebut sudah tidak lagi mampu mengatasinya sendiri. ICRC berusaha melindungi orang-orang dalam situasi konflik atau kekerasan bersenjata, untuk dapat melakukan ini, ICRC selalu berada di dekat para korban dan menjalin dialog secara konfidensial dengan pihak-pihak yang terlibat, baik Negara maupun aktor-aktor non-Negara. Krisis kemanusiaan sering terjadi bersamaan dan penyebab tak langsung, krisis-krisis lain seperti kelaparan, wabah penyakit, dan kekacauan ekonomi. Dalam kondisi ini ICRC turun memberikan bantuan yang dibutuhkan. Dari krisis kemanusiaan yang terjadi di Jalur Gaza Palestina dengan Israel perlu melibatkan pihak ketiga dalam proses membantu negara yang sedang mengalami krisis kemanusiaan. Dalam hal ini pihak ketiga yang pertama kali terlibat dalam memberikan bantuan kepada Jalur Gaza Palestina dan Israel yaitu ICRC karena ICRC merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang kemanusiaan yang bersifat netral dan tidak memihak pada negara manapun. ICRC memegang peranan yang penting dalam pemulihan pasca konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina dimana ICRC memberikan atau menyalurkan bantuan-bantuan yang disalurkan oleh berbagai pihak baik oleh ICRC maupun dari dunia internasional. ICRC juga memberikan perhatian terhadap pembangunan infrastruktur. ICRC juga berusaha untuk memberikan bantuan terhadap keluarga mereka yang hilang dan ditawan untuk dibebaskan, dan juga mengupayakan pembangunan kembali sarana air bersih dan sanitasi untuk menghindari para korban konflik perang tidak terjadinya penyakit.

Penerapan Prinsip Intervensi Humaniter Internasional Dalam Kasus Penyerangan Israel ke Palestina

Berkenaan dengan fenomena di atas, peran PBB dirasa kurang masif dan konkrit mengingat masih banyaknya korban sipil yang diserang oleh Israel. Untuk itu, pembahasan mengenai legitimasi penerapan intervensi humaniter pada kasus penyerangan Israel di Gaza-Palestina perlu dikaji. Seharusnya penerapan intervensi humaniter sudah bisa dilakukan oleh pihak PBB atas dasar hak asasi manusia dan juga sebagai penyelesaian konflik antara Israel-Palestina. Israel telah menyalahgunakan kedaulatannya dengan memperlakukan secara kejam dan brutal kehidupan rakyat sipil Palestina (Gaza) sehingga membuka peluang bagi negara lain untuk melakukan intervensi. Intervensi ini bukan bertujuan untuk menyelamatkan para korban. Hingga saat ini, intervensi humaniter belum ada secara resmi dari Dewan Keamanan PBB dan juga komunitas internasional lainnya. Hal ini terjadi karena banyak negara yang tidak mendesak Israel untuk menghentikan serangan udaranya dengan alasan mereka menerima bahwa Israel telah diserang oleh HAMAS dan mempunyai hak untuk membela diri (self defense).

Dalam konflik Palestina-Israel sebelumnya sudah ada solusi politik berupa solusi dua negara (two state solution). Solusi dua negara menyerukan pembentukan dua negara yang hidup berdampingan, aman, damai, dan saling mengakui kemerdekaan masing-masing. Namun upaya tersebut gagal karena ditentang berbagai pihak di masing-masing wilayah. Lebih dari 10 tahun terakhir tidak ada perundingan antara Israel dan Palestina sehingga tidak ada juga solusi dan perdamaian. Negosiasi Israel dan Palestina terakhir berlangsung pada 2013 lalu Tindakan intervensi humaniter (intervensi militer) yang belum juga dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB memantik Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk melakukan upaya diplomatik terhadap Amerika Serikat sebagai pendukung utama Israel. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa dilakukan OKI di King Abdulaziz International Convention Center (KAICC), Arab Saudi. 

Piagam PBB melarang negara melakukan intervensi Terhadap negara lain karena bertentangan dengan prinsip non-intervensi (Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB) dan kesamaan kedaulatan (Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB). Pengecualian intervensi dapat dibenarkan Hukum Internasional apabila berkenaan dengan ancaman perdamaian, keamanan internasional, dan tindakan agresi (Pasal 51 Piagam PBB). Ketentuan ini sejalan dengan tugas dan fungsi Dewan Keamanan PBB yang tercantum di dalam Pasal 24 Piagam PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Kedua, penerapan prinsip intervensi humaniter dalam kasus penyerangan Israel ke Palestina dapat dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB namun belum terjadi karena mereka masih menganggap Israel melakukan pertahanan diri (self defense) akibat serangan HAMAS. Prinsip intervensi humaniter, baik intervensi kemanusiaan dan operasi militer sudah bisa dilaksanakan oleh Dewan Keamanan PBB atas dasar kemanusiaan, mengingat korban jiwa sudah sangat banyak dan ketegangan dari kedua belah pihak belum juga mereda. Tindakan intervensi humaniter (intervensi militer) yang belum juga dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB membangkitkan semangat Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk melakukan upaya diplomatik terhadap Amerika Serikat sebagai pendukung utama Israel dalam menciptakan perdamaian dan kemerdekaan di Palestina.

Kesimpulan

Konflik Israel-Palestina menunjukkan kompleksitas pelanggaran hukum humaniter yang berkelanjutan. Israel secara sistematis melancarkan serangan yang menargetkan wilayah sipil, mencakup sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur vital, yang mengakibatkan penderitaan mendalam bagi penduduk Palestina.

Organisasi internasional seperti ICRC berupaya memberikan bantuan kemanusiaan, namun intervensi substantif untuk menghentikan konflik belum tercapai. Akar permasalahan terletak pada kegagalan solusi dua negara dan terhentinya negosiasi sejak 2013.

Mayoritas negara, terutama Amerika Serikat, memandang tindakan Israel sebagai pembelaan diri, yang mempersulit upaya perdamaian. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mulai melakukan tekanan diplomatik untuk mendorong penyelesaian konflik.

Dampak terburuk adalah krisis kemanusiaan berkepanjangan dengan korban sipil yang terus meningkat. Prinsip-prinsip hukum humaniter yang seharusnya melindungi penduduk sipil selama konflik bersenjata nyaris tidak terlaksana, menciptakan siklus kekerasan berulang yang merusak kehidupan dan infrastruktur di kawasan tersebut. Dibutuhkan komitmen internasional yang kuat untuk menghentikan konflik dan memulihkan perdamaian di wilayah ini.

Artikel Terkait

Rekomendasi