Perlindungan Anak dalam Konflik Israel-Palestina: Tinjauan Hukum Humaniter Internasional

Author PhotoBinti Ainur Rohmah
03 Dec 2024
Ilustrasi-Konflik-Palestina-Israel

Pengantar

HHI, atau Hukum Humaniter Internasional, adalah serangkaian peraturan yang bertujuan untuk mengurangi dampak kemanusiaan dari konflik bersenjata. Selain dikenal sebagai hukum konflik bersenjata atau hukum perang (jus in bello), tujuan utama HHI adalah mengatur alat dan teknik perang yang digunakan oleh pihak yang terlibat dalam konflik serta untuk melindungi dan memberikan perlakuan manusiawi terhadap individu yang tidak terlibat secara langsung dalam pertempuran. Secara singkat, HHI terdiri dari kumpulan aturan hukum internasional yang menetapkan standar kemanusiaan minimum yang harus dihormati dalam situasi konflik bersenjata. Dengan demikian, HHI berperan penting dalam memastikan bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan tetap terjaga selama masa konflik bersenjata.

Pelanggaran hukum humaniter internasional, khususnya yang menyangkut perlindungan anak-anak dalam konflik bersenjata, sangat serius dan tidak dapat diterima. Tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, seperti penahanan anak-anak Palestina dan perlakuan buruk yang mereka alami, merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar hukum humaniter yang mengutamakan perlindungan terhadap individu yang tidak terlibat dalam pertempuran. Negara-negara dan aktor internasional harus bertindak untuk melindungi anak-anak dan memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati, serta menegakkan akuntabilitas bagi pelanggar hukum internasional. Upaya untuk mengatasi dan mencegah pelanggaran ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan berkeadilan bagi semua, terutama bagi generasi muda yang merupakan masa depan umat manusia.

Pengaturan Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Perang Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional

Protokol Tambahan I tahun 1977 adalah aturan penting yang mengatur perang. Aturan ini melindungi orang-orang yang terluka, sakit, atau terdampar di laut selama perang. Aturan ini juga mengatur penggunaan senjata dan cara berperang.

Aturan ini juga mengatur tentang anak-anak dalam perang. Anak-anak di bawah usia 15 tahun tidak boleh ikut serta dalam perang. Anak-anak berusia 15-18 tahun boleh ikut serta, tetapi aturan ini lebih mengutamakan anak-anak yang lebih tua. Hukuman mati hanya boleh diberikan kepada orang yang berusia 18 tahun atau lebih saat melakukan pelanggaran.

Jika anak-anak di bawah usia 15 tahun ikut serta dalam perang dan ditangkap, mereka harus dilindungi. Anak-anak yang ikut serta dalam perang, tetapi tidak memiliki status khusus, harus dilindungi berdasarkan aturan umum.

Protokol Tambahan II tahun 1977 adalah aturan yang sama dengan Protokol Tambahan I, tetapi berlaku untuk konflik yang tidak melibatkan negara-negara. Aturan ini juga melarang anak-anak ikut serta dalam perang.

Konvensi Hak Anak yang ditandatangani pada tahun 1989 juga mengatur tentang perekrutan anak dalam perang. Aturan ini ada di Pasal 38, yang melarang negara untuk merekrut anak di bawah usia 15 tahun dan mewajibkan negara untuk melindungi anak-anak yang terkena dampak perang.

Pasal 38 ini sebenarnya hanya mengulang aturan yang sudah ada di Protokol Tambahan I tahun 1977. Konvensi Hak Anak hanya melarang anak-anak di bawah usia 15 tahun ikut serta langsung dalam perang. Ini berbeda dengan aturan perang lainnya yang melarang anak-anak ikut serta dalam perang, baik langsung maupun tidak langsung.

Namun, Pasal 38 Konvensi Hak Anak merujuk kepada aturan perang lainnya yang melindungi anak-anak. Jadi, jika ada keraguan tentang aturan mana yang harus diterapkan, aturan perang yang lebih spesifik akan berlaku.

Protokol Tambahan tahun 2000 adalah aturan tambahan untuk Konvensi Hak Anak 1989 yang khusus mengatur tentang anak-anak dalam perang. Aturan ini menegaskan bahwa anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak boleh ikut serta dalam perang.

Aturan ini juga melarang negara untuk merekrut anak di bawah usia 18 tahun untuk menjadi tentara, baik secara paksa maupun sukarela. Aturan ini juga melarang perekrutan anak di bawah usia 18 tahun untuk akademi militer.

Aturan ini berlaku untuk semua negara dan untuk semua kelompok bersenjata, baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Negara juga wajib memastikan bahwa aturan ini dijalankan dengan baik dan membantu anak-anak yang telah ikut serta dalam perang untuk pulih secara fisik dan mental serta kembali ke kehidupan normal.

Anak-anak yang terkena dampak konflik bersenjata dilindungi oleh hukum internasional, terutama Konvensi Jenewa 1949.Hukum ini melindungi anak-anak sebagai bagian dari penduduk sipil yang tidak ikut dalam peperangan.Mereka berhak mendapatkan perlindungan tanpa diskriminasi, terlepas dari suku, kewarganegaraan, agama, atau pendapat politik mereka.Tujuannya adalah untuk mengurangi penderitaan yang mereka alami akibat perang.Selain itu, anak-anak di wilayah pendudukan, orang asing, dan interniran sipil juga mendapatkan perlindungan khusus.

Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 adalah aturan tambahan untuk Konvensi Jenewa 1949 yang bertujuan untuk melindungi anak-anak dalam konflik bersenjata.Protokol Tambahan I, yang berlaku untuk konflik internasional, memperluas perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa.Beberapa pasal dalam Protokol Tambahan I secara khusus membahas perlindungan anak, seperti hak mereka untuk mendapatkan perawatan, pendidikan, dan penyatuan kembali dengan keluarga.Protokol Tambahan II, yang berlaku untuk konflik non-internasional, juga memberikan jaminan dasar bagi anak-anak dalam konflik.Jaminan ini meliputi hak mereka untuk mendapatkan perawatan dan bantuan, pendidikan (termasuk pendidikan agama dan moral), dan penyatuan kembali keluarga.Singkatnya, kedua Protokol Tambahan ini memperkuat perlindungan anak dalam konflik bersenjata dengan memberikan aturan yang lebih spesifik dan komprehensif.

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Perang Antara Palestina Dan Israel Yang Dilakukan Oleh Pihak Israel

Anak-anak muda di Palestina yang hidup dalam konflik bersenjata mengalami tekanan mental yang besar. Mereka sering menjadi korban kekerasan, seperti penyiksaan oleh tentara Israel.Anak-anak Palestina sering ditangkap dan diadili oleh pengadilan militer Israel, bahkan untuk tindakan sederhana seperti melempar batu. Mereka seringkali tidak diberi tahu tentang hak-hak mereka, dipaksa menandatangani dokumen yang tidak mereka mengerti, dan dianiaya secara fisik dan mental.

Praktik penahanan ini melanggar hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa, yang menjamin hak-hak tahanan perang dan penduduk sipil. Anak-anak Palestina yang ditahan sering diisolasi, diancam, dan dipaksa mengakui kesalahan yang tidak mereka lakukan.Perlakuan ini menyebabkan trauma psikologis yang mendalam dan melanggar hak-hak dasar anak untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan.Situasi ini menunjukkan perlunya tindakan global untuk melindungi anak-anak di zona konflik dan memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati.

Dari penjelasan diatas Terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh tentara israel yaitu:

Pasal 105 Konvensi Jenewa III (1949): Pasal ini menyatakan bahwa tawanan perang berhak mendapatkan bantuan dari rekan-rekannya dan memiliki hak untuk didampingi oleh penasihat hukum. Praktik penahanan anak-anak tanpa akses hukum atau pendampingan melanggar pasal ini.

Pasal 71 Konvensi Jenewa IV (1949): Pasal ini mengharuskan individu yang dituduh untuk diberitahu tentang tuduhan yang diajukan dalam bahasa yang mereka pahami. Pembatasan terhadap hak anak-anak Palestina untuk memahami dokumen dan tuduhan yang diajukan melanggar pasal ini.

Pasal 32 Konvensi Jenewa IV (1949): Pasal ini melindungi penduduk sipil dari tindakan kekerasan dan penyiksaan. Praktik penyiksaan dan penganiayaan terhadap anak-anak yang ditahan jelas melanggar ketentuan ini.

Pasal 38 Protokol Tambahan I (1977): Protokol ini memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak dalam konflik bersenjata, termasuk larangan merekrut anak-anak ke dalam angkatan bersenjata. Walaupun tidak disebutkan secara langsung dalam teks, pengaruh konflik bersenjata terhadap anak-anak muda dan dampak psikologisnya sejalan dengan pelanggaran prinsip-prinsip perlindungan anak.

Prinsip-prinsip kemanusiaan: Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan yang mengharuskan perlakuan manusiawi terhadap semua individu, termasuk anak-anak, saat terlibat dalam konflik bersenjata.

Pelanggaran-pelanggaran ini menunjukkan perlunya penegakan hukum internasional dan perlindungan hak-hak anak dalam situasi konflik bersenjata.

Kesimpulan

Hukum Humaniter Internasional (HHI) bertujuan untuk melindungi individu yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata, termasuk anak-anak, dengan menetapkan standar kemanusiaan minimum yang harus dihormati. Pelanggaran terhadap hukum ini, seperti yang terjadi terhadap anak-anak Palestina oleh tentara Israel, sangat serius dan tidak dapat diterima. Praktik penahanan yang melibatkan penyiksaan, penganiayaan, dan kurangnya akses hukum bagi anak-anak jelas melanggar berbagai pasal dalam Konvensi Jenewa dan protokol tambahan yang berlaku.

Pentingnya perlindungan anak dalam konflik bersenjata ditekankan melalui berbagai instrumen hukum internasional, termasuk Protokol Tambahan I dan II serta Konvensi Hak Anak. Anak-anak di bawah usia 15 tahun tidak boleh terlibat dalam perang, dan mereka yang terlibat harus mendapatkan perlindungan khusus.

Situasi yang dialami oleh anak-anak Palestina menunjukkan kebutuhan mendesak untuk tindakan global dalam melindungi hak-hak anak di zona konflik. Penegakan hukum internasional dan akuntabilitas bagi pelanggar sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan berkeadilan bagi generasi muda, yang merupakan masa depan umat manusia.

 

 

 

Artikel Terkait

Rekomendasi