Pada 24 Februari 2022, dunia mendapat berita yang mengejutkan dimana Rusia melancarkan “operasi militer khusus” ke Ukraina. Namun, apa penyebab konflik bilateral antara dua negara tetangga dengan cepat berubah menjadi arena pertarungan global terbesar sejak Perang Dingin. Ternyata puluhan negara di seluruh dunia terlibat intervensi militer yang menjadikan peperangan modern pada skala destruksi.
Konflik Rusia-Ukraina tidak hanya sekedar perang antara Moskow dan Kiev. Namun, adanya laboratorium hidup tentang bagaimana intervensi militer abad ke-21 bekerja, dimana negara-negara dapat berperang tanpa secara resmi berperang fisik, memberikan bantuan militer tanpa mengirim tentara, dan mempengaruhi hasil konflik tanpa terlibat langsung dalam pertempuran. Jadi kapan bantuan militer berubah menjadi intervensi yang melanggar hukum internasional?
Intervensi Langsung Oleh Rusia: Mulai “Operasi Khusus” hingga Invasi Penuh
Intervensi Rusia di Ukraina dimulai jauh sebelum invasi 2022. Sejak 2014, Rusia telah melakukan aneksasi Krimea dan mendukung separatis di wilayah Donbas. Invasi 24 Februari 2022 adalah klimaks dari strategi intervensi bertahap yang telah berlangsung delapan tahun.
Rusia berusaha membenarkan tindakannya dengan berbagai dalih yaitu untuk melindungi warga sipil Rusia di Ukraina, mencegah “genosida” di Donbas, dan merespons ancaman keamanan dari ekspansi NATO. Berdasarkan perspektif hukum internasional tindakan Rusia merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Pasal 2(4) Piagam PBB yang melarang penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial negara lain.
Majelis Umum PBB melalui Resolusi ES-11/1 pada Maret 2022 mengutuk agresi Rusia dengan dukungan 141 negara. Mahkamah Internasional juga mengeluarkan perintah sementara yang memerintahkan Rusia menghentikan operasi militernya. Meskipun demikian, Rusia tetap melanjutkan intervensinya dengan mengklaim bahwa tindakan tersebut adalah “operasi militer khusus” untuk “demiliterisasi dan denazifikasi” Ukraina.
Menariknya, bagaimana Rusia menggunakan berbagai instrumen intervensi modern pada invasi konvensional, serangan siber terhadap infrastruktur Ukraina, kampanye disinformasi, dan mobilisasi warga sipil Rusia. Model intervensi “hybrid warfare” ini menunjukkan evolusi cara negara melakukan agresi di abad ke-21.
Bantuan Militer Barat: Intervensi Tanpa Perang
Respon Barat terhadap Rusia saat menciptakan bentuk baru intervensi militer yang canggih namun terukur. Amerika Serikat memimpin koalisi yang telah memberikan bantuan militer senilai lebih dari 200 miliar dolar kepada Ukraina, namun dengan aturan ketat untuk menghindari eskalasi langsung dengan Rusia.
Evolusi Bantuan Senjata
Bantuan militer Barat mengalami eskalasi bertahap. Awalnya, NATO hanya memberikan senjata defensif seperti jaket anti-peluru dan helm. Namun, seiring berjalannya konflik, bantuan meningkat menjadi senjata anti-tank Javelin, sistem pertahanan udara, artileri berat HIMARS, tank Leopard dan Abrams, hingga rudal jelajah Storm Shadow dengan jangkauan 250 kilometer.
Amerika Serikat memberikan sistem roket HIMARS yang mengubah dinamika pertempuran dengan kemampuan serangan presisi jarak jauh. Jerman mengirim tank Leopard 2 dan sistem pertahanan udara IRIS-T. Inggris memberikan rudal Storm Shadow yang memungkinkan Ukraina menyerang target di Krimea. Prancis menyuplai sistem artileri CAESAR dan rudal SCALP.
Dukungan Teknologi dan Intelijen
Selain senjata fisik, Barat memberikan dukungan teknologi yang tidak kalah penting. Satelit pengintai AS dan Eropa memberikan informasi real-time tentang pergerakan pasukan Rusia. Teknologi Starlink dari SpaceX menjadi tulang punggung komunikasi militer Ukraina. Sistem enkripsi NATO memungkinkan koordinasi operasi yang aman.
Yang unik adalah batas-batas yang ditetapkan Barat untuk menghindari eskalasi. NATO secara konsisten menyatakan tidak akan mengirim tentara untuk bertempur langsung, tidak akan menyerang wilayah Rusia, dan memberikan senjata dengan batasan jangkauan tertentu. Strategi ini memungkinkan intervensi substansial tanpa memicu Perang Dunia III.
Penutup
Konflik Rusia-Ukraina telah mengubah paradigma intervensi militer dalam hukum internasional. Yang kita saksikan bukan hanya perang antara dua negara, tetapi evolusi bentuk keterlibatan asing dalam konflik modern. Model “bantuan tanpa keterlibatan langsung” menciptakan zona abu-abu dalam hukum internasional yang membutuhkan klarifikasi dan pengaturan baru.
Dari perspektif hukum internasional, konflik ini menunjukkan bahwa sistem Westphalian yang mendasarkan kedaulatan pada kontrol teritorial menghadapi tantangan serius dari realitas saling ketergantungan global. Ketika negara-negara dapat memberikan bantuan militer real-time melalui teknologi canggih, batas antara domestik dan internasional menjadi semakin kabur.
Bagi Indonesia, konflik ini memberikan pelajaran tentang pentingnya membangun ketahanan nasional yang komprehensif dan mempertahankan diplomasi aktif dalam mencegah eskalasi konflik. Era dimana negara dapat mengandalkan netralitas untuk menghindari konflik telah berakhir, digantikan oleh realitas dimana setiap negara harus memiliki strategi yang jelas dalam menghadapi krisis global.
Masa depan hukum internasional akan sangat bergantung pada kemampuan komunitas internasional untuk mengembangkan norma-norma baru yang dapat mengatur kompleksitas intervensi modern sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar kedaulatan dan non-agresi.














