IAW Kritik Kasus Hukum Terkait WNA Cina dalam Pengelolaan Tambang Ilegal

Author Photoportalhukumid
31 Jan 2025
Ilustrasi (https://www.liputan6.com/regional/read/5571784/tambang-ilegal-di-gorontalo-kembali-menelan-korban-1-orang-tewas-tertimbun).
Ilustrasi (https://www.liputan6.com/regional/read/5571784/tambang-ilegal-di-gorontalo-kembali-menelan-korban-1-orang-tewas-tertimbun).

Indonesian Audit Watch (IAW) mengangkat isu terkait dugaan aktivitas tambang ilegal yang melibatkan seorang warga negara China, Yu Hao, di Ketapang, Kalimantan Barat. Kasus ini menjadi perhatian publik setelah Pengadilan Tinggi Pontianak memutuskan membebaskannya dari semua dakwaan. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Ketapang telah menjatuhkan vonis 3,5 tahun penjara serta denda Rp30 miliar kepada Yu Hao. Namun, putusan bebas tersebut memunculkan berbagai pertanyaan di masyarakat.

Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menekankan bahwa kasus ini perlu dikaji lebih dalam, terutama mengingat dugaan adanya kekurangan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen Minerba Kementerian ESDM, serta pendekatan penuntutan yang diambil oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Yu Hao didakwa menyebabkan kerugian negara hingga Rp1,02 triliun, tetapi tidak ada bukti konkret yang menunjukkan hasil tambang emas, transaksi dari aktivitas pertambangan, ataupun keterlibatan pihak lain yang berperan sebagai penadah. Hal ini tentu membuat hakim dan masyarakat sulit diyakinkan,” ujar Iskandar dalam sebuah diskusi yang digelar di Kota Bandung pada Jumat (31/1/2025).

Lebih lanjut, Iskandar mengungkapkan bahwa dalam putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Ketapang maupun Pengadilan Tinggi Pontianak, terungkap bahwa PT SRM telah menguasai area tambang sejak akhir Juli hingga awal Desember 2023 dengan melibatkan pihak lain di luar Yu Hao. Menurutnya, bukti yang diajukan oleh JPU dalam menggambarkan dugaan kerugian negara hanya berupa Laporan Estimasi Cadangan Emas, bukan laporan resmi dari BPK atau BPKP yang dapat digunakan untuk menghitung kerugian negara secara sah.

“Bagaimana bisa Laporan Estimasi Cadangan dijadikan dasar dalam menentukan nilai kerugian negara? Ini menjadi pertanyaan besar terhadap kualitas penyelidikan yang dilakukan. Seolah-olah ada upaya untuk mengesampingkan peran institusi resmi seperti BPK dan BPKP,” kritik Iskandar.

Selain itu, ia mempertanyakan mengapa penyelidikan hanya berfokus pada Yu Hao, tanpa menelusuri lebih jauh peran PT SRM serta pihak lain yang turut serta dalam pengelolaan tambang tersebut. Menurutnya, hal ini mencerminkan kelemahan pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian ESDM dalam memantau praktik pertambangan oleh perusahaan.

“Kalau memang ada pelanggaran hukum, mengapa hanya Yu Hao yang diproses? Apakah masuk akal jika satu orang saja bisa menjalankan tambang emas tanpa dukungan pihak lain? Seharusnya Menteri ESDM bekerja sama dengan Korwas PPNS Mabes Polri dan Kompolnas untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap proses penyelidikan ini agar informasi yang disampaikan ke publik tidak bias,” tegasnya.

Iskandar juga mengkritisi pendekatan hukum yang diambil oleh JPU, yang menurutnya lebih mengandalkan konstruksi hukum yang lemah dibandingkan dengan bukti nyata. Oleh karena itu, ia menyarankan agar Jamwas Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan segera melakukan audit terhadap kinerja JPU dalam menangani kasus ini, karena dikhawatirkan dapat memicu ketegangan antara institusi penegak hukum seperti PPNS, Polri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung.

Berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Pontianak, Yu Hao dibebaskan karena tidak ditemukan bukti kuat yang menghubungkannya dengan aktivitas pertambangan ilegal. Namun, Iskandar tetap mendorong Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan pengawasan lebih lanjut terhadap kasus ini guna memastikan tidak ada kejanggalan dalam proses hukum yang berjalan.

“Keadilan bukan sekadar menjatuhkan hukuman, tetapi memastikan bahwa setiap proses hukum dilakukan secara adil dan sesuai dengan aturan yang berlaku,” katanya, seraya menggarisbawahi pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap aspek substansial dalam perkara ini.

Sementara itu, Kejaksaan Negeri Ketapang telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk menindaklanjuti putusan bebas ini. Namun, Iskandar menilai bahwa kejaksaan perlu lebih dulu melakukan evaluasi terhadap bukti-bukti yang mereka miliki sebelum melanjutkan upaya hukum tersebut. Jika tidak, hal ini justru dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan merugikan citra institusi seperti Kementerian ESDM, Polri, Kejaksaan, serta Mahkamah Agung.

Kasus ini, menurut Iskandar, menjadi pengingat bahwa profesionalisme dalam penegakan hukum harus dikedepankan. Penyidik dituntut untuk menghadirkan bukti yang solid, sementara JPU harus bersikap obyektif dan transparan dalam menyusun dakwaan.

“Syukurlah, putusan ini membuktikan bahwa sistem peradilan kita masih bisa mengoreksi dugaan kesalahan dalam proses hukum, meskipun hasil akhirnya mungkin bertentangan dengan opini publik. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam menyikapi setiap proses hukum, bukan hanya melihat hasil akhirnya. Prinsip dalam sistem hukum pidana harus tetap dijunjung tinggi: lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah,” pungkasnya.

Sumber:
https://www.rri.co.id/hukum/1295160/iaw-soroti-kasus-hukum-wna-cina-kelola-tambang-ilegal

Artikel Terkait

Rekomendasi