Sulaiman Al-Adsani seorang plot berkewarganegaraan ganda Inggris dan Kuwait, ditangkap secara paksa tanpa melalui prosedur hukum, bahkan disiksa oleh-tentaran Kuwait saat yang bersangkutan mengunjungi Kuwait tak lama setelah berakhimya Perang Teluk I. Al-Adsani dituduh menyebarluaskan kaset video penyimpangan sexual Sheikh JaberAl Sabah Al Saud. saudara Emir Kuwait kepada publik. Hal ini merupkan diskursus hukum internasional yang mempertentangkan dua prinsip fundamental yakni hak asasi manusia dan imunitas negara. Di satu sisi, hak asasi manusia, terutama larangan terhadap penyiksaan, dianggap sebagai norma imperatif (jus cogens) yang tidak dapat dilanggar. Di sisi lain, prinsip imunitas negara mengakui kedaulatan dan perlindungan negara dari yurisdiksi pengadilan asing.
Setelah meninggalkan Kuwait, Al-Adsani menggugat Pemerintah Kuwait di pengadilan Inggris, menuntut kompensasi atas penyiksaan yang dialaminya pada tanggal 29 Agustus 1992, atas dasar Al-Adsani ditahan di rumah tahanan negar (State prison), Mobil Pemerintah digunakan untuk membawa Al-Adsani dari rumahnya, serta penyiksaan dilakukan oleh pejabat pejabat pubiik (public officials) juga tentara Kuwait. Namun, pengadilan Inggris menolak gugatan tersebut berdasarkan prinsip imunitas kedaulatan negara, yang melarang pengadilan domestik untuk mengadili negara asing tanpa persetujuannya. Kuwait berhak atas imunitas negara asing berdasarkan U K State immunity Act 1978. Tidak puas dengan keputusan ini, Al-Adsani membawa kasus tersebut ke European Court of Human Rights (ECHR) pada tahun 1996. Ia mengklaim bahwa keputusan pengadilan Inggris melanggar haknya untuk mendapatkan peradilan yang adil, Pasal 6 (denial ofjustice principle), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia) dan haknya untuk bebas dari penyiksaan,Pasal 3 (Torture). Peradilan Internasional ataupun Nasional dibuat untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, Kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang. Pelaku pelanggaran HAM berat tidak dapat lagi berlindung dibalik negaranya. Dengan adanya kasus ini, Adsani khawatir bahwa negara akan menggunakan kekuatan imunitasnya untuk menghindari tanggung jawabnya.
Dalam kasus AI-Adsani di European Court of Human Right dikemukakan adanya Teori hierarkhi normatif (The Normative Hierarchi Theory). Menurut para pendukung teori ini state immunity bukan jus cogens sehingga kedudukannya lebih rendah dari larangan melakukan penyiksaan (torture) yang mempunyai karakterlstik khusus dalam hukum.internasional. Dengan demikian menurut mereka dengan kedudukan yang lebih rendah ini maka imunitas negara akan dicabut (abrogated) ketika negara meianggar hak asasi manusia yang merupakan jus cogens.
Keputusan European Court of Human Rights
Pada tahun 2001, ECHR memutuskan dengan suara mayoritas (9-8) untuk menolak klaim Al-Adsani. Keputusan ini mengandung : Imunitas Negara adalah Bagian dari Hukum Internasional yang Berlaku: Pengadilan menyatakan bahwa pemberian imunitas kepada negara asing oleh pengadilan Inggris tidak melanggar Pasal 6 Konvensi Eropa. Tidak Ada Pengecualian atas Larangan Penyiksaan dalam Kasus Ini: Meskipun larangan penyiksaan merupakan norma imperatif, pengadilan menyimpulkan bahwa hal tersebut tidak secara otomatis mengesampingkan aturan imunitas negara dalam yurisdiksi domestik.
Namun, keputusan ini juga mencatat bahwa ada kebutuhan untuk pengembangan lebih lanjut dalam hukum internasional mengenai keseimbangan antara larangan penyiksaan dan imunitas negara. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan tentang akses korban pelanggaran HAM berat terhadap peradilan. Dengan mengutamakan imunitas negara, pengadilan menciptakan hambatan bagi individu untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran serius. Serta memicu memicu perdebatan dan mendorong advokasi untuk reformasi hukum internasional, termasuk upaya untuk memperjelas pengecualian terhadap imunitas negara dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Menaanggapi hal tersebut seorang ahli hukum mengemukakan bahwa sebenamya tidak ada konflik antara norma hukum intemasional imunitas negara dengan larangan penyiksaan. Konflik yang terjadi sebetulnya yakni antara perlindungan HAM dengan hak negara forum untuk mengatur otoritas organ judicialnya (Right of adjudlcatory jurisdiction). Imunitas negara merupakan pengecualian dari prinsip yurisdiksi teritorial dan sebagai hukum kebiasaan internasional, tidak mencakup pelanggaran HAM. Litigasi perlindungan HAM ada pada tingkat domestik dan sebagai pelaksanaan Right of adjudlcatory jurisdiction. Negara forum memiliki otoritas terakhir untuk menetapkan imunitas negara asing termasuk menetapkan tertutupnya pengadilan nasional untuk litigasi HAM negara asing. Perlindungan imunitas negara asing terhadap pelanggaran HAM yang dilakukannya bukanlah prosedur hukum intemasional.
Dari kasus ini dapat disimpulkan bawa hukum internasional sangatlah luas dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia oleh negara berdaulat. Keputusan ECHR memperlihatkan dominasi prinsip imunitas negara atas upaya penegakan hak asasi manusia di pengadilan domestik. Namun, kasus ini juga menjadi dasar untuk diskusi lebih lanjut mengenai keseimbangan antara perlindungan kedaulatan negara dan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat.