Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) setelah pengadilan tersebut mengeluarkan surat perintah penangkapan pada 21 November. Surat perintah ini juga mencakup eks Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant. Keduanya diminta untuk ditangkap jika berada di negara-negara yang meratifikasi Statuta Roma ICC. ICC menilai bahwa ada bukti yang cukup kuat untuk mendakwa Netanyahu dan Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Jalur Gaza, Palestina, termasuk penggunaan kelaparan sebagai metode peperangan, serta tuduhan pembunuhan, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya terhadap warga Palestina.
Meski sejumlah negara anggota ICC menyatakan akan mematuhi perintah penangkapan tersebut, seperti Kanada, Belgia, Irlandia, Belanda, Norwegia, dan Afrika Selatan, beberapa negara justru menyatakan menolak untuk melaksanakannya. Salah satunya adalah Hungaria, yang bahkan mengundang Netanyahu untuk berkunjung. Begitu pula dengan Prancis, yang setelah sebelumnya menyatakan akan patuh, kini berubah sikap dan beralasan bahwa Netanyahu tidak bisa ditangkap karena dianggap “kebal hukum” mengingat Israel bukan negara anggota ICC.
Namun, apakah benar Netanyahu kebal hukum seperti yang diklaim Prancis? Berdasarkan Pasal 27 Statuta Roma, hukum ICC berlaku sama untuk setiap individu, tanpa memandang status atau jabatan mereka, termasuk kepala negara. Pasal ini menyatakan bahwa tidak ada yang bisa dibebaskan dari tanggung jawab pidana berdasarkan kedudukan resmi mereka. Oleh karena itu, Prancis sebenarnya berkewajiban untuk bekerja sama dengan ICC sesuai dengan kewajiban yang tercantum dalam Statuta Roma, yang mencakup kewajiban untuk mengeksekusi surat perintah penangkapan.
Argumen yang digunakan oleh Prancis merujuk pada Pasal 98 Statuta Roma, yang menyebutkan bahwa suatu negara tidak boleh bertindak bertentangan dengan kewajiban internasional terkait kekebalan diplomatik individu dari negara pihak ketiga. Profesor hukum internasional, William Schabas, menjelaskan bahwa meskipun pada masa lalu argumen semacam ini bisa dipahami, ICC sendiri telah mengklarifikasi hal ini pada 2019 dalam kasus penangkapan terhadap mantan Presiden Sudan, Omar al-Bashir. Sama seperti Israel, Sudan bukan anggota ICC, namun pengadilan menetapkan bahwa tidak ada kekebalan hukum bagi kepala negara berdasarkan hukum internasional yang berlaku umum.
Sikap Prancis terhadap Netanyahu tampaknya bertentangan dengan sikapnya terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, yang juga dijatuhi perintah penangkapan ICC pada Maret 2023 atas dugaan kejahatan perang di Ukraina. Saat itu, Prancis menegaskan bahwa tidak ada individu yang kebal dari hukum, apapun status mereka. Namun, setelah Mongolia menerima kunjungan Putin meskipun ada perintah penangkapan, Prancis mengingatkan bahwa negara-negara pihak Statuta Roma harus mematuhi kewajiban mereka untuk bekerja sama dengan ICC. Hal ini memperlihatkan adanya standar ganda dalam penerapan prinsip hukum oleh Prancis, yang tampaknya bergantung pada siapa yang dianggap sebagai sekutu atau musuh.
Meskipun Prancis kini menegaskan bahwa Netanyahu “kebal hukum”, kenyataannya, ICC tetap memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perintah penangkapan yang sah. Oleh karena itu, meskipun Prancis menyatakan bahwa mereka tidak akan menangkap Netanyahu, negara tersebut kemungkinan besar tidak akan berani mengundang Netanyahu ke wilayahnya, karena perintah penangkapan dari ICC tetap berlaku dan dapat dipertahankan di mata hukum internasional.