Dalam rapat kerja antara Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan pada Kamis, 8 Mei 2025, muncul usulan kontroversial dari anggota Fraksi Partai Golkar, Galih Kartasasmita. Ia mengemukakan gagasan agar Indonesia mempertimbangkan kembali legalisasi kasino sebagai alternatif untuk memperluas sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dalam pandangannya, sejumlah negara di kawasan Teluk seperti Uni Emirat Arab telah mengadopsi pendekatan yang lebih inovatif dan pragmatis dalam pengelolaan fiskal, termasuk dengan memperkenalkan praktik perjudian secara legal dan terkontrol.
Gagasan ini bukan tanpa preseden dalam sejarah kebijakan fiskal Indonesia. Pada dekade 1960-an, praktik legalisasi perjudian pernah diberlakukan secara terbatas di Jakarta sebagai strategi untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Kebijakan ini diambil oleh Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, yang menghadapi tekanan besar dalam membiayai pembangunan infrastruktur kota yang masih sangat terbatas.
Dengan tujuan menertibkan praktik perjudian ilegal yang merugikan keuangan negara, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 1967 mengesahkan legalisasi perjudian melalui Surat Keputusan Gubernur No. 805/A/k/BKD/1967. Inisiatif ini merupakan respons terhadap maraknya perjudian gelap yang kala itu ditaksir menghasilkan sekitar Rp300 juta per tahun—jumlah yang tidak masuk ke kas negara, melainkan dinikmati oleh aktor-aktor informal yang berada di luar struktur fiskal resmi.
Salah satu bentuk implementasi kebijakan tersebut adalah pembukaan kasino resmi pertama di Kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat, yang dijalankan atas kerja sama pemerintah daerah dengan seorang warga negara keturunan Tionghoa bernama Atang. Operasional kasino tersebut bersifat terbatas, hanya memperbolehkan individu berkewarganegaraan asing atau keturunan Tionghoa untuk berpartisipasi. Sistem pengawasan ketat diterapkan dengan dukungan aparat keamanan, dan dalam praktiknya, kegiatan perjudian menghasilkan setoran pajak sebesar Rp25 juta per bulan kepada pemerintah—angka yang, jika dikonversi berdasarkan nilai emas saat itu, setara dengan nilai ratusan miliar rupiah dalam konteks kontemporer.
Dana yang diperoleh dari legalisasi kasino dialokasikan langsung untuk pembiayaan pembangunan publik, termasuk pembangunan jembatan, rumah sakit, dan sekolah. Pendekatan ini menunjukkan efektivitas fiskal kebijakan tersebut dalam jangka pendek. Dalam rentang waktu satu dekade, pendapatan daerah DKI Jakarta mengalami peningkatan drastis, dari puluhan juta menjadi lebih dari Rp122 miliar pada tahun 1977, mencerminkan transformasi struktural dalam kapasitas fiskal dan tata kelola perkotaan Jakarta.
Namun, kebijakan tersebut berakhir pada tahun 1974 seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, yang menandai kembalinya pendekatan moral-religius dalam kebijakan nasional.
Usulan yang dikemukakan Galih Kartasasmita pada tahun 2025 tersebut mencerminkan dinamika berulang dalam diskursus kebijakan publik Indonesia: ketegangan antara efisiensi fiskal dan norma-norma sosial-kultural. Dalam konteks ekonomi kontemporer, di mana pemerintah menghadapi tantangan optimalisasi penerimaan negara di tengah tekanan anggaran dan kebutuhan pembangunan, pertimbangan terhadap model-model alternatif sumber PNBP mungkin layak untuk dikaji lebih lanjut—tentu dengan memperhatikan kerangka hukum, sosial, dan etika yang berlaku.