Jakarta – Perlambatan yang dirasakan di dunia otomotif saat ini menimbulkan harapan bahwa pemotongan suku bunga dapat dilakukan lebih cepat. Dengan nilai tukar rupiah yang kini kembali berada di bawah 16.500, banyak pihak mulai menyaring urgensi pemotongan suku bunga. Bank Indonesia, yang saat ini mempertahankan suku bunga di angka 5,75%, memiliki pertimbangan tersendiri dalam mengambil keputusan tersebut.
Dalam pertemuan terakhir, Bank Indonesia mempertimbangkan kondisi nilai tukar rupiah yang sempat memburuk. Namun, saat ini rupiah mulai stabil di angka 16.450. “Bank Indonesia harus menjaga keseimbangan moneter dan melihat kondisi pasar. Jika suku bunga tidak dianggap mendesak untuk disesuaikan, maka fokus utama harus pada penciptaan lapangan kerja,” ungkap seorang ekonom.
Kondisi saat ini menunjukkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus terjadi, yang berimbas pada daya beli masyarakat. “Daya beli masyarakat menurun, dan ini terlihat dari rata-rata simpanan di bank yang kini hanya sekitar Rp 1 juta, padahal enam bulan lalu bisa mencapai Rp 3 juta. Ini tanda adanya masalah likuiditas,” tambahnya.
Pencipta lapangan kerja menjadi kunci untuk memulihkan daya beli. “Salah satu cara untuk mendorong pertumbuhan adalah dengan menciptakan proyek-proyek yang dapat memberikan hasil bagi masyarakat, sehingga mereka bisa menabung dan berbelanja,” jelasnya.
Pemerintah diharapkan dapat melonggarkan anggaran untuk mendukung proyek-proyek yang dapat menciptakan lapangan kerja. “Investasi asing juga menjadi salah satu cara untuk menciptakan lapangan kerja. Meskipun ada tantangan, Indonesia masih dianggap menarik bagi investor,” tambahnya.
Namun, tanpa pelonggaran pengeluaran pemerintah, pemotongan suku bunga mungkin tidak akan cukup signifikan untuk meningkatkan permintaan di masyarakat. “Pemotongan suku bunga biasanya dilakukan secara bertahap, misalnya 25 basis poin, yang dianggap minimal. Di perusahaan pembiayaan kami, penurunan suku bunga tidak akan berdampak besar pada cicilan yang dibayar oleh debitur,” ungkapnya.
Daya beli masyarakat yang melemah dan menurunnya kepercayaan konsumen menjadi faktor utama dalam perlambatan ini. “Masyarakat kini lebih berhati-hati dalam bertransaksi, terutama dalam hal kredit. Jika laporan SLIK buruk, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan pinjaman di masa depan,” jelasnya.
Ia juga mengimbau masyarakat yang mengalami kesulitan dalam membayar cicilan untuk segera berkomunikasi dengan perusahaan pembiayaan. “Penting untuk melakukan rekonstruksi dan mengatur ulang pembayaran agar debitur tetap memiliki catatan yang baik,” tambahnya.
Dengan adanya tantangan yang ada, komunikasi yang baik antara kreditur dan debitur menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini. Diharapkan, langkah-langkah yang diambil dapat membantu memulihkan daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di masa depan.