Peran Arbitrase Syariah Nasional sebagai Pilar Penyelesaian Sengketa di Sektor Perbankan Syariah Indonesia

WhatsApp Image 2025-10-12 at 18.18.11_f659d345

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga yang dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyelesaikan sengketa muamalah, termasuk perbankan syariah. BASYARNAS berperan sebagai forum penyelesaian sengketa non-litigasi yang berlandaskan syariah dan hukum positif, menjadi penghubung antara fatwa DSN-MUI dan hukum positif, sehingga putusan arbitrase tidak hanya sah secara hukum negara, tapi juga sesuai syariah, memberikan kepastian hukum melalui putusan yang bersifat final dan mengikat (final and binding) dan mengurangi beban pengadilan dan menjaga reputasi bank maupun nasabah karena proses arbitrase lebih rahasia dan cepat.

Dasar hukum peran Arbitrase Syariah Nasional dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia berlandaskan pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menegaskan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat serta UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang memberikan opsi penyelesaian melalui pengadilan agama atau lembaga arbitrase. Untuk menjamin kepastian eksekusi, SEMA No. 8 Tahun 2008 menegaskan bahwa putusan Badan Arbitrase Syariah dapat dieksekusi melalui Pengadilan Agama. Selain itu, Fatwa DSN-MUI menjadi pedoman normatif bagi majelis arbiter dalam memastikan bahwa akad dan putusan yang dijatuhkan tetap konsisten dengan prinsip syariah, sehingga memberikan legitimasi ganda, baik secara hukum positif maupun hukum Islam.

Dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui BASYARNAS, terdapat beberapa pihak yang berperan penting, yaitu bank syariah dan nasabah sebagai pihak yang bersengketa, kemudian majelis arbiter BASYARNAS yang terdiri dari ahli hukum dan fikih muamalah untuk memeriksa serta memutus perkara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga pembina yang memastikan putusan sejalan dengan prinsip syariah dan Pengadilan Agama yang berwenang mengeksekusi putusan arbitrase apabila pihak yang kalah tidak menjalankannya secara sukarela, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang meskipun tidak terlibat langsung, tetapi tetap memiliki fungsi pengawasan terhadap kepatuhan bank syariah pada regulasi dan penyelesaian sengketa.

Alur penyelesaian sengketa di BASYARNAS dimulai ketika terjadi perselisihan antara bank syariah dan nasabah, kemudian pihak yang merasa dirugikan mengajukan permohonan arbitrase dengan melampirkan akad yang memuat klausul arbitrase. Setelah itu, para pihak diberi kesempatan menunjuk arbiter atau menerima arbiter yang ditetapkan BASYARNAS untuk memeriksa sengketa. Dalam proses pemeriksaan, arbiter menilai bukti-bukti, mendengar keterangan para pihak, serta berupaya terlebih dahulu mendamaikan melalui mekanisme ishlah. Apabila perdamaian tidak tercapai, arbiter menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat. Selanjutnya, jika pihak yang kalah tidak melaksanakan putusan secara sukarela, pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama sehingga putusan BASYARNAS memiliki kekuatan hukum tetap dan dapat dijalankan secara efektif.

Salah satu kasus nyata di Indonesia adalah sengketa antara Bank Muamalat Indonesia dengan nasabahnya yang tercatat dalam Putusan BASYARNAS No.06/2004/BASYARNAS/MUAMALAT/IV/2004, di mana nasabah melakukan wanprestasi terhadap akad pembiayaan murabahah. Bank Muamalat kemudian membawa perkara ini ke BASYARNAS berdasarkan klausul arbitrase dalam akad, dan majelis arbiter memutuskan bahwa nasabah wajib melunasi sisa kewajiban sesuai perjanjian. Karena nasabah menolak melaksanakan putusan secara sukarela, Bank Muamalat mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan. Kasus ini menjadi contoh penting bahwa putusan BASYARNAS memiliki kekuatan eksekutorial melalui Pengadilan Agama, sekaligus menegaskan peran arbitrase syariah sebagai forum sah dan efektif dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia.

Kesimpulan
BASYARNAS memiliki peran strategis dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia karena mampu menghadirkan mekanisme non-litigasi yang cepat, rahasia, dan sesuai prinsip syariah sekaligus hukum positif. Dengan dasar hukum yang kuat, yakni UU Arbitrase, UU Perbankan Syariah, serta SEMA No. 8 Tahun 2008, BASYARNAS memastikan putusannya bersifat final, mengikat, dan dapat dieksekusi melalui Pengadilan Agama. Keterlibatan berbagai pihak, mulai dari bank, nasabah, arbiter, MUI, hingga OJK, menunjukkan adanya sinergi dalam menjaga kepastian hukum dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Melalui contoh kasus Bank Muamalat, terbukti bahwa arbitrase syariah tidak hanya memberikan legitimasi ganda hukum negara dan syariah tetapi juga menjadi solusi efektif dalam menjaga keadilan, stabilitas, serta reputasi industri perbankan syariah di Indonesia.

Penulis Aiko Alamnasroh Abdi, S.H dan Yeni Mardiah Lubis, S.H adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Artikel Terkait

Rekomendasi