Jenewa – Setelah bertahun-tahun ketegangan ekonomi antara dua raksasa dunia, Amerika Serikat dan China, dunia akhirnya menyambut kabar baik dengan diadakannya kesepakatan pengurangan tarif yang signifikan. Kesepakatan ini diumumkan setelah pertemuan perdagangan intensif antara pejabat tinggi kedua negara di Jenewa pada akhir pekan lalu.
Kedua belah pihak sepakat untuk mengurangi tarif barang satu sama lain selama 90 hari ke depan sebagai bagian dari de-eskalasi besar dalam perang dagang yang telah berlangsung pahit dan memicu pemanasan global dalam beberapa tahun terakhir. Langkah ini menandai titik balik penting dalam hubungan perdagangan antara Washington dan Beijing, serta memberikan harapan baru bagi pelaku pasar dan industri yang terjebak dalam konflik tarif yang berkepanjangan.
Reaksi pasar global terhadap kesepakatan ini sangat positif. Indeks utama dari Eropa, Asia, dan Amerika Utara bergetar tajam saat investor merespons berita ini dengan optimis. Di tengahnya menampilkan ekonomi global yang masih membayangi dampak inflasi tinggi, suku bunga yang agresif, dan ketegangan geopolitik lainnya, berita tentang meredanya konflik perdagangan antara dua ekonomi terbesar di dunia ini bagaikan oasis di tengah gurun.
Menurut pernyataan resmi dari Menteri Keuangan AS, Scott Ben, kedua negara sepakat untuk mengurangi tarif impor satu sama lain sebesar 115% mulai Rabu mendatang. Pengurangan ini akan berlaku selama 90 hari dan bersifat timbal balik. Dalam praktiknya, pengurangan ini akan menurunkan tarif AS pada barang-barang dari China dari 64% menjadi 30%. Sementara itu, Tiongkok akan menurunkan tarifnya pada barang-barang dari AS dari 201,5% menjadi 10%. Meskipun 30% masih tergolong tinggi dalam konteks perdagangan internasional, pengurangan ini dianggap sebagai langkah maju yang lebih besar dari perkiraan sebelumnya.
Analis ekonomi dari media internasional, Theo Leget, menyatakan bahwa meskipun tarif 30% masih menjadi beban berat bagi pelaku bisnis, terutama di sektor manufaktur dan teknologi, keputusan ini setidaknya menunjukkan niat politik kedua pihak untuk mencari jalan keluar dari konflik yang merugikan kedua negara.
Dinamika Balik Kesepakatan
Di balik kesepakatan ini terdapat dinamika internal yang mendorong kedua negara untuk melonggarkan sikap keras mereka. Wartawan BBC di Beijing, Laura Ber, melaporkan bahwa pejabat Tiongkok mulai menunjukkan kekhawatiran mendalam tentang dampak ekonomi dari tarif AS. Tekanan pada sektor ekspor Tiongkok mulai terasa nyata sejak pertengahan tahun lalu ketika diberlakukannya kebijakan tarif baru dari AS mulai mempengaruhi kinerja industri manufaktur dan teknologi tinggi negara tersebut.
Sementara itu, dari sisi AS, pengakuan terbuka oleh Menteri Keuangan Scott Bason bahwa situasi ini tidak berkelanjutan dalam jangka panjang menunjukkan bahwa tekanan domestik terhadap pemerintah di Washington juga semakin meningkat. Sektor pertanian AS, misalnya, telah mengalami kerugian besar akibat tarif balasan dari China yang menyasar produk seperti kedelai, jagung, dan daging sapi.
Reaksi Pasar dan Prospek Jangka Pendek
Pasar saham global segera menanggapi kesepakatan ini dengan antusiasme yang besar. Indeks Dow Jones Industrial Average di AS melonjak lebih dari 2% dalam satu hari perdagangan. Sementara itu, indeks Nikkei di Jepang dan komposit Shanghai di China juga mencatatkan kenaikan yang signifikan. Pasar saham Eropa juga menguat, mencerminkan optimisme investor bahwa dunia mungkin bergerak menuju stabilitas perdagangan yang lebih besar.
Namun, para pengamat merasa euforia ini tidak berlebihan. Meskipun tarif telah diturunkan, hambatan perdagangan lainnya seperti perdagangan investasi, transfer teknologi, dan kontrol ekspor teknologi tinggi masih tetap ada. Beberapa strategi kebijakan seperti Cips Act di AS dan ambisi Made in China 2025 Beijing masih menyisakan ketegangan ideologi dalam hubungan bilateral antara kedua negara.
Dampak Potensial pada Negara Ketiga
Negara-negara berkembang yang selama ini menjadi penonton dalam perang dagang AS-China juga akan merasakan dampak positif dari pengurangan tarif ini. Negara-negara di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin yang merupakan bagian dari rantai pasokan global dapat melihat stabilitas permintaan dan harga komoditas yang lebih baik. Namun, negara-negara seperti Vietnam dan India yang telah diuntungkan dari relokasi pabrik oleh perusahaan multinasional mungkin harus menyesuaikan harapan mereka jika ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok terus mereda.