Nama : Rifa Nazla Fadila
Nim : 0204242099
Asal : Universitas Islam Sumatera Utara
Dosen pengampu : Indana Zulfah, M.H
Belakangan ini, publik ramai membahas langkah PT Bukit Asam Tbk (PTBA), salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia, yang berharap agar harga batu bara untuk pasar domestik (Domestic Market Obligation / DMO) dapat dinaikkan.
Isu ini mencuat karena selama beberapa tahun terakhir, harga DMO ditetapkan pemerintah sebesar USD 70 per ton—harga yang jauh di bawah harga batu bara ekspor yang bisa mencapai lebih dari USD 120 per ton.
PTBA berpendapat bahwa kebijakan harga DMO saat ini sudah tidak sejalan dengan kondisi pasar dan biaya produksi yang terus meningkat. Oleh karena itu, perusahaan meminta agar pemerintah meninjau ulang ketentuan tersebut agar industri tambang tetap sehat dan berkelanjutan.
Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) merupakan bentuk kewajiban bagi perusahaan tambang untuk menjual sebagian produksinya ke dalam negeri, terutama untuk memasok kebutuhan PT PLN (Persero).
Kebijakan ini bertujuan menjaga kestabilan harga listrik agar tidak membebani masyarakat.Namun, dari sisi pelaku usaha, kebijakan DMO dengan harga tetap menimbulkan tekanan keuangan, karena selisih antara harga ekspor dan harga DMO cukup besar.
Sebagai BUMN, PTBA tetap mematuhi kebijakan pemerintah, tetapi berharap ada keadilan dalam perhitungan harga, agar tidak hanya menguntungkan konsumen, tetapi juga memberikan kelangsungan ekonomi bagi produsen.
Secara hukum, langkah PTBA ini termasuk dalam hukum administrasi negara dan hukum energi, di mana hubungan antara pemerintah dan BUMN diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 102 dan Pasal 103 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba:
“Pemegang izin usaha pertambangan wajib memprioritaskan pemenuhan kebutuhan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri.”
“Pemerintah dapat menetapkan harga penjualan mineral dan batubara untuk kebutuhan dalam negeri.”
Artinya, pemerintah memang memiliki kewenangan absolut untuk menetapkan harga DMO.
Namun, perusahaan tambang seperti PTBA juga memiliki hak administratif untuk mengajukan permohonan peninjauan kebijakan jika terdapat ketidakseimbangan antara harga pasar dan kebijakan pemerintah.
Langkah PTBA ini sejalan dengan Pasal 10 ayat (1) huruf f UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan bahwa:
“Setiap keputusan pemerintahan harus berlandaskan asas keadilan dan proporsionalitas.”
Dengan dasar tersebut, permintaan PTBA bisa dikategorikan sah secara hukum, karena didasarkan pada prinsip proporsionalitas — yaitu menyeimbangkan kepentingan publik dengan kepentingan industri.
Dari sisi perdata, kebijakan harga DMO berpengaruh langsung terhadap kontrak jual beli batu bara antara PTBA dan PLN. Bila harga terlalu rendah, potensi kerugian bisa muncul, meski perusahaan tidak bisa langsung menuntut ganti rugi karena kebijakan DMO termasuk keputusan pemerintah (bestuursdaad).
Namun, secara prinsip, tindakan pemerintah dalam menentukan harga harus tetap memperhatikan asas keadilan ekonomi, agar tidak menyebabkan ketimpangan antara pihak produsen dan konsumen energi.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan menyebabkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pelakunya untuk mengganti kerugian tersebut.”
Walau Pasal ini lebih relevan pada sengketa antarpribadi, prinsipnya dapat dijadikan dasar etis bahwa kebijakan publik yang menimbulkan kerugian berlebihan bagi satu pihak harus ditinjau kembali.
Dari sisi pemerintah, menjaga harga DMO tetap rendah merupakan strategi untuk menekan biaya listrik dan menjaga inflasi nasional.
Namun di sisi lain, jika harga DMO tidak pernah disesuaikan, perusahaan tambang bisa mengalami penurunan keuntungan dan efisiensi, bahkan berpotensi mengurangi kontribusi pajak dan dividen bagi negara.
Karena itu, kebijakan energi seharusnya tidak hanya berpihak kepada konsumen, tetapi juga memberi ruang keberlanjutan bagi produsen.
Keseimbangan inilah yang menjadi inti dari kebijakan publik di sektor energi: menjaga stabilitas nasional tanpa mengorbankan kesehatan industri dalam negeri.
Menurut saya, isu PTBA yang berharap harga batu bara domestik (DMO) naik adalah contoh nyata tarik-menarik antara kepentingan ekonomi dan sosial dalam kebijakan publik.
Dari sisi hukum, permintaan PTBA sah dan beralasan, karena didasari prinsip keadilan dan proporsionalitas dalam hukum administrasi negara.
Namun, pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak membebani rakyat melalui kenaikan harga listrik dan bahan bakar industri.
Saya berpendapat bahwa solusi terbaik bukan sekadar menaikkan harga DMO secara langsung, tetapi menetapkan sistem harga fleksibel, di mana harga DMO dapat disesuaikan secara periodik mengikuti kondisi pasar dan biaya produksi.
Dengan begitu, baik masyarakat maupun perusahaan bisa sama-sama diuntungkan.
Kebijakan energi harus selalu mencari titik tengah antara kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan ekonomi.
Langkah PTBA dalam menyuarakan aspirasi ini patut diapresiasi sebagai bentuk partisipasi hukum dan ekonomi yang konstruktif, bukan bentuk perlawanan terhadap negara.
Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, Indonesia perlu memastikan bahwa setiap kebijakan energi mencerminkan nilai keadilan, transparansi, dan keberlanjutan — tiga prinsip yang menjadi fondasi hukum ekonomi modern.
Sumber: kompas.com














