Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) melayangkan gugatan terhadap Kabareskrim Polri, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya, dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Gugatan ini, yang terdaftar dengan nomor perkara 115/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL, diajukan pada Senin (11/11/2024) dengan tuduhan bahwa ketiga lembaga tersebut diduga menghentikan proses penyidikan kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Klasifikasi perkara dalam gugatan ini menitikberatkan pada pertanyaan terkait “sah atau tidaknya penghentian penyidikan,” sebagaimana tercantum dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan.
Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho, menjelaskan bahwa Bareskrim Polri sebelumnya telah melakukan berbagai upaya penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi terkait sistem pembayaran online atau payment gateway di Kementerian Hukum dan HAM pada tahun anggaran 2014. Dalam kasus ini, Denny Indrayana diduga terlibat dalam praktik korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp32,69 miliar. Kerugian tersebut diduga berasal dari praktik penyimpangan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui penggunaan vendor pihak ketiga tanpa prosedur yang sah. Kurniawan menyebutkan bahwa Bareskrim telah menetapkan Denny sebagai tersangka pada tahun 2015, bahkan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Agung.
Namun, meski sudah berstatus tersangka selama hampir satu dekade, Denny tidak pernah ditahan. Tidak seperti tersangka korupsi lainnya yang biasanya langsung ditahan dan disidangkan, kasus ini justru terkatung-katung tanpa kejelasan. Hingga saat ini, berkas perkara tersebut belum diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk proses hukum lebih lanjut. Bahkan, berkas kasus ini diketahui sempat dialihkan dari Bareskrim ke Ditreskrimsus Polda Metro Jaya pada tahun 2018. Namun, hingga kini, tidak ada perkembangan berarti dari pihak Polda Metro Jaya.
“Dengan kondisi seperti ini, dapat dikatakan bahwa kasus ini telah dibiarkan menggantung selama hampir 10 tahun sejak Denny Indrayana pertama kali ditetapkan sebagai tersangka. Situasi ini tidak hanya merugikan negara dari sisi kerugian keuangan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum dan keadilan bagi masyarakat luas,” ungkap Kurniawan. Ia menambahkan bahwa sikap ini mencerminkan lemahnya komitmen aparat penegak hukum dalam menuntaskan perkara besar yang memiliki dampak signifikan bagi kepentingan publik.
Menanggapi gugatan tersebut, Humas PN Jakarta Selatan, Djuyamto, membenarkan bahwa perkara ini akan diproses oleh pihak pengadilan. Sidang praperadilan perdana dijadwalkan berlangsung pada Selasa, 26 November 2024, dengan hakim tunggal Hendra Yuristiawan sebagai pemimpin sidang. Djuyamto juga menegaskan bahwa proses hukum ini akan menjadi ujian bagi kredibilitas lembaga penegak hukum terkait, baik Polri maupun Kejaksaan, dalam menjamin keadilan dan transparansi penanganan kasus.
Sementara itu, Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto, sebelumnya mengklaim bahwa kasus ini sudah memasuki tahap akhir penyelidikan atau “finishing”. Namun, pernyataan tersebut tidak diikuti dengan detail mengenai langkah konkret yang akan dilakukan. Hal ini memunculkan keraguan publik terhadap keseriusan penyelesaian kasus yang sudah terlalu lama tertunda ini. Adapun Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak, menyatakan bahwa pihaknya telah memeriksa sejumlah saksi dan ahli terkait kasus tersebut, tetapi tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang kapan perkara ini akan memasuki tahap penuntutan.
Dengan adanya gugatan ini, MAKI dan LP3HI berharap agar pengadilan dapat memutuskan apakah penghentian penyidikan terhadap Denny Indrayana dilakukan secara sah atau tidak, sekaligus mendorong lembaga penegak hukum untuk menuntaskan kasus ini dengan transparansi dan akuntabilitas penuh.