Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia dari Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta, Fahira Idris, mengajak seluruh pemerintah daerah di Indonesia untuk segera menyusun dan mengesahkan peraturan daerah (perda) yang khusus mengatur mengenai masyarakat hukum adat. Menurutnya, meskipun Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah memberikan jaminan konstitusional terhadap keberadaan serta hak-hak masyarakat hukum adat, namun implementasi kebijakan di tingkat daerah masih belum optimal.
Fahira mengungkapkan bahwa hingga saat ini, baru sekitar 47 daerah yang memiliki perda terkait masyarakat hukum adat. Angka ini masih sangat kecil dibandingkan dengan luasnya cakupan wilayah Indonesia yang memiliki keberagaman suku dan komunitas adat. Pernyataan ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar oleh Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI bersama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), akademisi, serta para peneliti yang memiliki perhatian khusus terhadap keberadaan dan perlindungan masyarakat adat. RDPU ini berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (5/3/2025).
Menurut Fahira, perda menjadi salah satu instrumen hukum yang sangat penting dalam memperkuat posisi masyarakat hukum adat dalam sistem pemerintahan daerah. Keberadaan perda ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam mempertahankan hak-haknya, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam, tanah ulayat, serta kebudayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Namun, Fahira juga menyoroti bahwa hingga saat ini, masih banyak daerah yang belum memiliki perda terkait masyarakat hukum adat, dan sekalipun ada, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu hambatan utama yang diidentifikasi adalah lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam memberikan pengakuan yang konkret terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Selain itu, perbedaan definisi mengenai masyarakat hukum adat dalam berbagai regulasi nasional juga menjadi faktor yang menyulitkan proses identifikasi dan pemetaan wilayah adat di berbagai daerah.
Di sisi lain, perda yang telah diterbitkan di beberapa daerah sering kali hanya bersifat deklaratif tanpa adanya mekanisme implementasi yang jelas. Hal ini berakibat pada rendahnya efektivitas peraturan tersebut dalam memberikan perlindungan hukum yang nyata bagi masyarakat adat. Untuk mengatasi persoalan ini, Fahira menegaskan perlunya langkah-langkah strategis dan konkret agar penyusunan dan pelaksanaan perda tentang masyarakat hukum adat dapat berjalan lebih cepat dan efektif.
Sebagai bagian dari upaya percepatan, Fahira mengajukan lima rekomendasi strategis. Pertama, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) perlu memberikan insentif kepada daerah yang telah mengesahkan perda tentang masyarakat hukum adat. Insentif ini dapat berupa tambahan anggaran, dukungan teknis, hingga penghargaan bagi daerah yang menunjukkan komitmen tinggi dalam pengakuan serta perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Kedua, diperlukan kebijakan afirmatif yang mewajibkan setiap daerah untuk menyusun perda masyarakat hukum adat, terutama bagi wilayah yang memiliki komunitas adat dalam jumlah signifikan. Dengan adanya kebijakan ini, setiap pemerintah daerah akan terdorong untuk segera melakukan identifikasi dan penyusunan regulasi yang mengakomodasi hak-hak masyarakat adat.
Ketiga, pentingnya harmonisasi regulasi antara pemerintah pusat dan daerah agar tidak terjadi tumpang tindih dalam kebijakan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Harmonisasi ini juga bertujuan agar perda yang disusun tidak bertentangan dengan kebijakan nasional dan dapat diimplementasikan secara efektif di lapangan.
Keempat, penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyusunan dan implementasi perda juga menjadi hal yang mendesak. Pemerintah daerah perlu diberikan pendampingan teknis agar mampu merancang perda yang berbasis pada kebutuhan nyata masyarakat adat serta dapat diimplementasikan secara efektif.
Kelima, perlu adanya pengawasan ketat dan evaluasi berkala terhadap perda yang telah diterbitkan untuk memastikan bahwa aturan tersebut benar-benar berjalan sesuai dengan tujuan awalnya. Evaluasi ini juga dapat menjadi dasar dalam melakukan revisi atau penyempurnaan jika ditemukan hambatan dalam implementasi di lapangan.
Fahira berharap agar seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dapat bersinergi dalam mempercepat penyusunan dan penerapan perda masyarakat hukum adat. Dengan demikian, masyarakat adat di berbagai daerah dapat memperoleh perlindungan hukum yang lebih kuat dan terjamin dalam sistem hukum nasional.