Qanun Jinayat dan Kontroversi Hukum Cambuk di Era Modern

Qanun Jinayat adalah produk hukum khas Aceh yang memuat ketentuan pidana berbasis syariat Islam, termasuk pelanggaran seperti zina, khalwat, liwath, maisir, dan sebagainya. Dalam implementasinya, Qanun Jinayat menjadi peraturan yang paling banyak menuai perhatian nasional dan internasional, terutama karena menetapkan hukum cambuk sebagai sanksi utama bagi sejumlah pelanggaran. Hukuman ini dilaksanakan secara terbuka dan ditangani oleh aparat yang khusus ditunjuk.

Dasar hukum Qanun Jinayat tercantum dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 yang menyelaraskan hukum pidana Islam dengan sistem peradilan di Aceh. Qanun ini memberikan kewenangan kepada Mahkamah Syar’iyah untuk mengadili perkara pidana tertentu dan menetapkan jenis hukuman sesuai dengan prinsip hukum Islam. Tiga bentuk hukuman yang dikenal adalah had (hudud), qishash-diyat, dan ta’zir, di mana cambuk umumnya masuk dalam kategori ta’zir.

Namun demikian, pelaksanaan hukuman cambuk menimbulkan kontroversi yang luas. Kelompok pegiat hak asasi manusia (HAM) menilai bahwa bentuk hukuman tersebut melanggar prinsip non-derogable rights, yakni larangan penyiksaan atau perlakuan kejam yang tidak manusiawi. Banyak pihak mempertanyakan apakah pelaksanaan cambuk di ruang publik sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan terhadap martabat manusia sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan Kovenan Internasional.

Salah satu kritik utama terhadap hukuman cambuk adalah potensi pelanggaran terhadap Pasal 28G UUD 1945, yang menjamin perlindungan terhadap diri pribadi, rasa aman, dan perlakuan yang manusiawi. Selain itu, Indonesia adalah negara pihak pada ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights), yang secara eksplisit melarang perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Di sinilah qanun menghadapi dilema antara ajaran agama dan komitmen internasional.

Meskipun qanun jinayat hanya berlaku bagi warga Muslim, dalam praktiknya kadang-kadang juga diberlakukan terhadap non-Muslim yang memilih menyelesaikan perkara di Mahkamah Syar’iyah. Hal ini memunculkan pertanyaan terkait kesadaran hukum masyarakat terhadap alternatif yang tersedia, serta apakah ada tekanan sosial atau kekaburan hukum dalam memilih jalur penyelesaian.

Pemerintah Aceh sendiri telah beberapa kali mengkaji ulang lokasi dan cara pelaksanaan cambuk. Misalnya, mulai tahun 2018, ada wacana untuk mengganti lokasi terbuka menjadi tertutup, meski tidak semua pihak sepakat. Ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa tata laksana hukum cambuk perlu diatur dengan lebih humanis dan tidak mempermalukan pelaku secara sosial.

Secara normatif, qanun jinayat sah dan diakui dalam sistem hukum Indonesia. Namun, untuk memastikan pelaksanaan hukumnya sejalan dengan asas due process of law dan perlindungan HAM, perlu ada evaluasi yang objektif, dialog lintas disiplin, serta pendidikan hukum kepada masyarakat. Tanpa itu, qanun jinayat bisa menjadi pedang bermata dua: menjaga moralitas publik, tetapi berpotensi melanggar hak individu.

Artikel Terkait

Rekomendasi