Kasus penipuan sering kali menimbulkan kerugian yang tidak hanya dirasakan secara materiil, tetapi juga berdampak pada rasa keadilan korban. Pertanyaan yang kerap muncul adalah: apakah kasus penipuan bisa diproses melalui jalur pidana dan perdata sekaligus? Jawabannya, bisa, karena hukum di Indonesia memberikan ruang bagi korban untuk menempuh keduanya, meskipun dengan mekanisme yang berbeda.
Penipuan dalam Ranah Pidana
Dalam ranah pidana, penipuan diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang kini telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Pasal mengenai penipuan tetap mempertahankan esensinya, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan cara menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan yang mengakibatkan orang lain menyerahkan barang atau memberikan suatu keuntungan.
Sanksi pidana bagi pelaku penipuan berupa pidana penjara maupun pidana denda. Tujuan utamanya adalah menghukum pelaku serta memberikan efek jera, sehingga tindak pidana serupa tidak terulang.
Penipuan dalam Ranah Perdata
Di sisi lain, aspek perdata dari penipuan biasanya muncul dalam bentuk wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Dasarnya merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), terutama Pasal 1365 yang menyebutkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pelaku untuk mengganti kerugian tersebut.
Dalam jalur perdata, korban dapat mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan agar hak-haknya dipulihkan. Dengan demikian, meskipun pelaku telah dipidana, korban tetap bisa menuntut pemulihan kerugian yang dialaminya.
Bisakah Keduanya Dijalankan Bersamaan?
Secara prinsip, jalur pidana dan perdata dapat ditempuh secara bersamaan karena memiliki tujuan yang berbeda. Pidana menekankan pada penghukuman pelaku, sementara perdata fokus pada pemulihan hak korban. Hal ini ditegaskan dalam praktik peradilan di Indonesia, di mana hakim tidak terikat untuk menunggu hasil putusan di salah satu ranah sebelum memeriksa perkara di ranah lain.
Namun, ada mekanisme khusus yang dikenal dengan gugatan perdata dalam perkara pidana (adhesi), yakni ketika korban sekaligus menuntut ganti rugi dalam proses pidana. Meski demikian, jalur ini jarang digunakan karena sering kali hakim lebih menekankan pada aspek pidana, sementara kerugian materiil korban lebih tepat ditangani melalui gugatan perdata tersendiri.
Contoh dalam Praktik
Sebagai ilustrasi, seseorang menipu korban dengan investasi bodong. Dalam jalur pidana, pelaku bisa dijerat dengan pasal penipuan dalam KUHP dan dijatuhi hukuman penjara. Di sisi lain, korban tetap berhak menuntut ganti rugi melalui pengadilan perdata untuk memulihkan kerugian finansial yang dialaminya.
Dengan demikian, kasus penipuan memang bisa diproses melalui hukum pidana dan perdata sekaligus. Pemisahan tujuan inilah yang memungkinkan keduanya berjalan beriringan: pidana menghukum pelaku, sementara perdata mengembalikan kerugian korban. Pemahaman ini penting agar masyarakat mengetahui langkah hukum apa yang paling tepat ditempuh untuk mendapatkan keadilan yang utuh.
Imroah Qurotul Aini














