Penerapan hukum berbasis syariah di Indonesia menjadi perdebatan yang terus berkembang seiring dengan dinamika sosial, politik, dan hukum di Tanah Air. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, wacana mengenai hukum syariah kerap muncul dalam diskusi hukum dan kebijakan publik. Namun, Indonesia bukanlah negara berbasis agama, melainkan negara yang berlandaskan Pancasila dan konstitusi. Oleh karena itu, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana hukum syariah dapat diterima dalam sistem hukum Indonesia yang bersifat pluralistik.
Secara historis, jejak hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia telah ada sejak masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Ketika penjajahan Belanda masuk, sistem hukum yang berbasis adat dan agama mulai tergeser oleh hukum kolonial. Namun, pasca-kemerdekaan, hukum Islam kembali mendapatkan ruang melalui berbagai kebijakan, seperti pengakuan hukum keluarga Islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta eksistensi peradilan agama yang memiliki yurisdiksi atas perkara-perkara tertentu bagi umat Muslim. Dengan demikian, meskipun Indonesia bukan negara Islam, unsur hukum Islam telah menjadi bagian dari sistem hukum nasional.
Penerimaan hukum berbasis syariah di Indonesia juga dapat dilihat dari beberapa kebijakan daerah yang menerapkan perda-perda berbasis syariah. Beberapa daerah, seperti Aceh, diberi kewenangan khusus untuk menerapkan hukum Islam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Di provinsi ini, hukum syariah diterapkan dalam berbagai bidang, mulai dari ekonomi, perbankan, hingga sistem peradilan. Namun, di daerah lain, penerapan hukum berbasis syariah sering kali menimbulkan kontroversi karena dianggap bertentangan dengan prinsip pluralisme dan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945.
Di sisi lain, penerapan hukum berbasis syariah sering kali menghadapi tantangan dari aspek regulasi dan implementasi. Dalam sistem hukum Indonesia, sumber hukum berasal dari berbagai tradisi, termasuk hukum adat, hukum Barat (peninggalan kolonial), dan hukum Islam. Oleh karena itu, pengintegrasian hukum syariah harus dilakukan dengan pendekatan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai kebangsaan. Jika penerapan hukum syariah dilakukan secara parsial dan tidak mengakomodasi keberagaman masyarakat, hal ini dapat menimbulkan konflik sosial serta potensi diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Selain itu, dalam konteks globalisasi, hukum Islam di Indonesia juga harus beradaptasi dengan perkembangan hukum internasional. Indonesia terikat oleh berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang mengatur hak asasi manusia, kebebasan beragama, dan prinsip non-diskriminasi. Oleh karena itu, setiap upaya penerapan hukum berbasis syariah harus mempertimbangkan aspek ini agar tidak bertentangan dengan komitmen internasional yang telah dibuat oleh pemerintah.
Pada akhirnya, pertanyaan mengenai penerimaan hukum berbasis syariah di Indonesia tidak dapat dijawab secara sederhana. Penerapan hukum Islam dalam sistem hukum nasional harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip konstitusi, pluralisme, dan kebebasan beragama. Jika hukum berbasis syariah dapat diadaptasi dengan cara yang tidak mengabaikan hak-hak kelompok lain dan tetap menghormati sistem hukum yang berlaku, maka penerapannya dapat diterima dalam batas tertentu. Namun, jika penerapan hukum syariah dilakukan dengan cara yang meminggirkan kelompok tertentu dan bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka akan menimbulkan lebih banyak tantangan dibandingkan manfaatnya.