Hukum pidana positif di Indonesia saat ini terdiri dari KUHP (WvS) dan berbagai Undang-Undang khusus. KUHP yang berlaku berasal dari WvS voor Nederlandsch-Indi, yang diresmikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1918. Dengan undang-undang No. 1 tahun 1946 dan No. 73 tahun 1958, istilah WvS diubah menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang masih berlaku dengan beberapa perubahan.
Sebagai warisan kolonial, KUHP kini dianggap tidak relevan dengan perkembangan masyarakat. Kongres PBB menyatakan bahwa hukum pidana yang diimpor dari masa kolonial seringkali usang dan tidak adil. Oleh karena itu, pembaruan hukum pidana diperlukan agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan kondisi sosial masyarakat Indonesia.
Alasan untuk pembaruan mencakup:
1. Politik: Indonesia perlu memiliki hukum pidana yang mencerminkan kedaulatan dan identitas nasional.
2. Sosiologis: Hukum pidana harus mencerminkan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.
3. Praktis: Pembaruan diperlukan untuk menggunakan bahasa dan konteks yang relevan dengan masyarakat saat ini.
Pentingnya pembaruan ini juga didukung oleh penelitian yang menunjukkan adanya keinginan masyarakat yang belum terakomodasi dalam KUHP saat ini. Sudarto menekankan bahwa hukum nasional harus adaptif terhadap perkembangan baru, termasuk nilai-nilai Pancasila dalam setiap pasal yang dirancang.
Hukum di Indonesia, termasuk hukum pidana, berakar pada Pancasila. Setiap produk perundang-undangan harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila; jika tidak, hukum tersebut kehilangan fungsinya dan hanya menjadi alat untuk kepentingan tertentu tanpa semangat Pancasila. Oleh karena itu, pembaruan hukum pidana (KUHP) di Indonesia adalah suatu keharusan yang harus sejalan dengan semangat dan idealisme Pancasila.
Usaha pembaruan ini juga terkait dengan politik hukum yang bertujuan untuk menilai perubahan yang diperlukan agar hukum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Sudarto mendefinisikan politik hukum sebagai usaha untuk menciptakan peraturan yang baik sesuai dengan konteks saat ini. Ia menekankan pentingnya menentukan apakah pembaruan hukum diperlukan, sejauh mana pembaruan tersebut, dan bentuknya, yang berkaitan dengan ius constituendum atau hukum yang diharapkan di masa depan.
Junisyah Nasution, S.H














