Menyingkap Denda Damai: Solusi Praktis atau Problem Etis

money-7076155_1280

Dalam dinamika penegakan hukum di Indonesia, istilah “denda damai” sering muncul sebagai fenomena yang memancing pro dan kontra. Di satu sisi, mekanisme ini dianggap sebagai jalan pintas penyelesaian masalah hukum tanpa harus melewati proses panjang di pengadilan. Namun, di sisi lain, praktik ini kerap dipandang sebagai bentuk kompromi yang bisa melemahkan prinsip keadilan dan membuka ruang bagi penyalahgunaan kewenangan.

Secara sederhana, denda damai adalah bentuk sanksi yang disepakati antara pelanggar hukum dengan aparat atau lembaga tertentu, sebagai ganti dari proses hukum yang lebih formal. Praktik ini kerap ditemui dalam kasus pelanggaran lalu lintas, pelanggaran administratif, hingga beberapa kasus pidana ringan. Jika dilihat dari sudut efisiensi, denda damai memang bisa menjadi solusi. Masyarakat tidak perlu menanggung biaya tinggi atau menghabiskan waktu berlarut-larut di meja hijau, sementara negara tetap memperoleh pemasukan dari denda yang dibayarkan.

Namun, pertanyaannya: apakah efisiensi semacam itu sejalan dengan prinsip keadilan?

Di sinilah letak dilema. Bagi sebagian kalangan, denda damai berpotensi menciptakan “keadilan semu”.

Seseorang yang memiliki kemampuan finansial dapat dengan mudah menyelesaikan pelanggarannya dengan membayar sejumlah uang, sementara mereka yang tidak mampu akan menanggung beban lebih berat. Ketidaksetaraan ini bisa melahirkan diskriminasi dalam penegakan hukum.

Selain itu, denda damai juga seringkali disalahartikan. Dalam praktik sehari-hari, tidak jarang mekanisme ini berubah menjadi celah untuk tindakan koruptif, misalnya pungutan liar berkedok “damai di tempat”. Kondisi semacam ini jelas bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri, yakni memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Meski demikian, bukan berarti denda damai sepenuhnya buruk. Jika diterapkan dengan regulasi yang ketat, transparan, serta memiliki dasar hukum yang jelas, denda damai justru bisa menjadi instrumen alternatif penyelesaian perkara yang lebih cepat dan efisien.

Dalam konteks restorative justice misalnya, mekanisme damai dan penggantian kerugian kerap dipandang lebih relevan untuk perkara tertentu ketimbang hukuman penjara.

Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya bukanlah apakah denda damai harus dihapus atau dipertahankan, melainkan bagaimana mekanisme ini bisa ditempatkan secara tepat dalam sistem hukum Indonesia.

Jika dijalankan dengan pengawasan yang kuat dan prinsip transparansi, denda damai bisa menjadi peluang untuk mempercepat proses hukum. Tetapi jika dibiarkan tanpa aturan yang jelas, ia akan berubah menjadi ancaman yang merusak integritas penegakan hukum.

Artikel Terkait

Rekomendasi