Apakah Pemberi Kerja Berhak Mencantumkan Larangan Pernikahan Antar Sesama Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Atau Peraturan Perusahaan ?

Foreman with tasks and worker with box of tools. Builders on construction site. Vector illustration for teamwork, labor, occupation concept
Foreman with tasks and worker with box of tools. Builders on construction site. Vector illustration for teamwork, labor, occupation concept

Pemberi Kerja Tidak Berhak Mencantumkan Larangan Pernikahan Antar Sesama Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Atau Peraturan Perusahaan sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 13/PUU- XV/2017 tertanggal 13 Desember 2018 yang menegaskan:

…pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan…menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk membentuk keluarga adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional…

Adapun putusan diatas menguji Pasal 153 ayat (1) huruf (f) UU Ketenagakerjaan dengan putusn Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”. Sehingga Pasal 153 ayat (1) huruf (f) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Adapun bunyi Pasal 153 ayat (1)  UU Ketenagakerjaan yakni:

“”Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: 

  1. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; 
  2. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
  3. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya; 
  4. pekerja/buruh menikah; 
  5. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; 
  6. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; 
  7. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh, atau melakukan kegiatan di luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; 
  8. pekerja/buruh mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang tindak pidana; 
  9. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; 
  10. pekerja/buruh dalam masa percobaan, kecuali telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; 
  11. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang berwenang, waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberi kerja tidak berhak mencantumkan larangan pernikahan antar sesama pekerja dalam perjanjian kerja ataupun peraturan perusahaan.

 

 

Tulisan ini ditulis oleh Juanito Stevanus, apabila pembaca memiliki pertanyaan terkait permasalahan hukum yang sedang dialami ataupun berkonsultasi masalah hukum ketenagakerjaan, baik terkait upah, tunjangan, cuti, dan lainnya, dapat mengirimkan email ke stevanusjuanito@gmail.com

Artikel Terkait

Rekomendasi