Mahkamah Agung (MA) memutuskan hukuman penjara selama 5 tahun bagi Gregorius Ronald Tannur, yang terlibat dalam kasus penganiayaan terhadap kekasihnya, Dini Sefra Afriyanti, yang berujung pada kematian. Keputusan ini disampaikan oleh MA pada tingkat kasasi, sekaligus membatalkan vonis bebas yang sebelumnya dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada pengadilan tingkat pertama. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa Ronald terbukti melanggar Pasal 351 Ayat (3) KUHP yang mengatur tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Sebelumnya, dalam putusan PN Surabaya, Ronald dinyatakan tidak terbukti bersalah atas dakwaan penganiayaan yang diajukan jaksa penuntut umum. Majelis hakim PN Surabaya yang terdiri dari Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo membebaskan Ronald dari semua dakwaan, baik yang pertama, kedua, maupun ketiga. Putusan bebas ini menuai kontroversi dan kekecewaan, khususnya dari pihak keluarga korban, yang merasa bahwa penegakan hukum tidak berjalan dengan adil.
Ketidakpuasan atas putusan bebas tersebut memicu laporan terhadap ketiga hakim tersebut ke Komisi Yudisial (KY). Setelah melakukan penyelidikan, KY menemukan adanya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang dilakukan oleh ketiga hakim tersebut. KY kemudian merekomendasikan agar mereka diberhentikan dari jabatannya. Kasus ini juga memunculkan dugaan adanya suap dalam proses peradilan, yang semakin menambah kompleksitasnya.
Terkait hal tersebut, Kejaksaan Agung akhirnya melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Erintuah, Mangapul, dan Heru. Ketiga hakim ini diduga menerima suap dalam kasus yang melibatkan Ronald Tannur, yang sebelumnya diputus bebas. Langkah tegas dari Kejaksaan Agung ini diharapkan dapat memberikan keadilan bagi keluarga korban sekaligus memperbaiki citra lembaga peradilan di mata publik.