Hakim Konstitusi Pinta Penggugat UU POLRI Mendalilkan Kerugian Konstitusional UU Tersebut

_107547724_polisimk

Dalam sidang judicial review terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), Mahkamah Konstitusi (MK) kembali meminta pemohon untuk memperjelas kerugian konstitusional yang dialami sebagai bagian dari materi gugatan. Sidang yang digelar pada Kamis, 25 September 2025 ini dipimpin oleh Ketua MK, Suhartoyo, dengan agenda pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 167/PUU-XXIII/2025.

 

Pemohon, seorang advokat bernama Windu Wijaya, mengajukan gugatan atas ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UU Polri yang menyatakan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Windu menilai ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

 

Dalam sidang, Ketua MK Suhartoyo menekankan pentingnya pemohon untuk menunjukkan kerugian konstitusional yang konkret dan riil dalam gugatan mereka. “Jelaskan kerugian konstitusional yang lebih riil dan tidak dalam konteks sebagai pemilih, hubungannya terlalu jauh,” kata Suhartoyo saat memberikan arahan kepada pemohon.

 

Suhartoyo memberikan batas waktu hingga 8 Oktober 2025 bagi pemohon untuk menyempurnakan permohonan dengan menyertakan bukti dan alasan yang lebih mendalam mengenai pelanggaran hak konstitusional yang dialami. Jika perbaikan permohonan ini telah diterima, MK akan menjadwalkan sidang lanjutan untuk mendengarkan pokok-pokok perbaikan tersebut.

 

Selain Ketua MK, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh juga memberi catatan kritis atas permohonan tersebut. Daniel menyatakan bahwa kerugian konstitusional yang dialami pemohon sebagai advokat belum terlihat jelas dari permohonan yang diajukan. “Jika hanya sebagai advokat ada hal-hal berhubungan langsung dengan Kapolri atau aparat kepolisian, ini harus dielaborasi sehingga ada kerugian konstitusionalitas. Serta, ada hubungan sebab-akibat dari norma yang diujikan yang berhubungan dengan kedudukan hukum pemohon,” ujarnya.

 

Hakim konstitusi lainnya, Guntur Hamzah, turut memberikan masukan. Ia mencermati adanya pernyataan yang saling bertolak belakang dalam permohonan, dimana di satu sisi disebut tidak ada kepastian hukum, namun di lain sisi petitum menyatakan adanya konstitusionalitas norma yang diuji. “Jika dikatakan tetap konstitusional, berarti tidak ada kerugian yang dialami. Tidak ada masalah dengan norma hanya memintakan kriteria, tapi itu bukan ranah Mahkamah melainkan DPR. Jadi bicara logika hukumnya,” tutur Guntur.

 

Dalam gugatannya, Windu mempertanyakan kewenangan Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang harus mendapat persetujuan DPR. Menurutnya, frasa “persetujuan DPR” dalam Pasal 11 ayat (1) UU Polri tidak menyediakan batasan jelas apakah persetujuan tersebut hanya administratif atau harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam pasal lain UU Polri. Akibatnya, kata Windu, menimbulkan ketidakjelasan norma yang berpotensi merugikan kepastian hukum dan praktik ketatanegaraan.

 

Kuasa hukum Windu, Ardin Firanata, menyampaikan bahwa ketentuan yang ada menimbulkan kerugian konstitusional karena tidak adanya alasan hukum yang jelas mengenai dasar persetujuan atau penolakan DPR terhadap pengangkatan Kapolri yang diajukan Presiden. Hal ini membuat kewenangan Presiden menjadi tergantung sepenuhnya pada persetujuan DPR tanpa parameter hukum yang jelas.

 

Pemohon meminta MK menyatakan frasa “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dalam Pasal 11 ayat (1) UU Polri masih konstitusional sepanjang memenuhi kriteria yang sah, di antaranya calon Kapolri harus warga negara Indonesia, perwira tinggi aktif dengan jenjang kepangkatan sesuai aturan, memiliki integritas yang baik, serta memenuhi persyaratan etika dan hukum.

 

Sidang ini berlangsung dengan penuh perhatian dari berbagai kalangan karena menyangkut aspek fundamental dalam tata kelola kepolisian dan ketatanegaraan Indonesia. MK menegaskan akan menjaga proses hukum yang transparan dan adil demi memastikan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan konstitusi.

 

Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, MK juga telah menggelar sejumlah sidang terkait pengujian materi UU Polri dengan menghadirkan berbagai ahli dan saksi dari pemerintah dan pemohon. Proses ini merupakan bagian dari upaya memastikan bahwa hukum yang mengatur instrumen kepolisian tetap sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

 

Sidang selanjutnya dijadwalkan setelah pemohon menyerahkan perbaikan permohonan pada tenggat waktu yang ditentukan. MK akan memeriksa ulang materi gugatan berdasarkan dokumen perbaikan dan bukti pendukung terbaru.

 

Sumber

 

https://www.tempo.co/politik/mk-minta-penggugat-undang-undang-polri-perjelas-kerugian-konstitusional-2073561

 

https://www.mkri.id/public/content/infoumum/press/pdf/press_1758785305_4c6be2a54133c975ca67.pdf

 

https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/814863/para-hakim-mk-kritik-ahli-yang-sebut-personel-kepolisian-boleh-rangkap-jabatan-sipil

Artikel Terkait

Rekomendasi