Qanun dan Konstruksi Keistimewaan Aceh dalam Sistem Negara Kesatuan

Qanun merupakan simbol dari keistimewaan Aceh, sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Keberadaan qanun bukan hanya cermin dari aspirasi keagamaan masyarakat, tetapi juga hasil dari perjalanan panjang politik, budaya, dan perjuangan Aceh sebagai entitas historis dan ideologis. Aceh tidak sekadar diberi otonomi, tetapi memperoleh hak legislatif khusus untuk mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan nilai-nilai syariah.

Keistimewaan Aceh berakar dari sejarah panjang konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah pusat yang berujung pada MoU Helsinki tahun 2005. Salah satu poin penting dari kesepakatan damai tersebut adalah pengakuan terhadap hak Aceh untuk menjalankan sistem pemerintahan sendiri, termasuk dalam aspek hukum dan agama. Dari sinilah kemudian lahir Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang menjadi dasar legal pembentukan qanun.

Qanun mencakup berbagai bidang: dari pemerintahan, pendidikan, keuangan daerah, hingga hukum pidana dan perdata. Ini membuktikan bahwa qanun adalah produk dari sistem yang kompleks, bukan sekadar instrumen agama. Melalui qanun, Aceh dapat membangun tatanan hukum lokal yang responsif terhadap nilai-nilai Islam, adat istiadat, dan kebutuhan masyarakat. Ini adalah contoh nyata dari desentralisasi asimetris dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun keistimewaan ini juga mengandung tanggung jawab besar. Qanun tidak boleh dijadikan alat justifikasi terhadap pelanggaran HAM, marginalisasi kelompok rentan, atau pembungkaman kritik publik. Justru, dengan posisi strategis ini, Aceh harus menjadi teladan integrasi antara syariat, adat, dan sistem hukum negara yang harmonis dan adil.

Dalam praktiknya, pelaksanaan qanun menghadapi tantangan dari dalam dan luar. Di tingkat lokal, tidak semua aparat atau masyarakat memiliki pemahaman yang sama terhadap maksud dan substansi qanun. Di tingkat nasional dan internasional, qanun dikritik karena dinilai eksklusif, patriarkis, atau bahkan tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Maka dibutuhkan mekanisme evaluasi dan konsultasi publik yang kuat agar qanun tetap relevan.

Penting pula untuk memastikan bahwa produk hukum seperti qanun memiliki aksesibilitas, akuntabilitas, dan efektivitas. Setiap peraturan harus dapat dipahami oleh masyarakat dan dijalankan oleh aparat yang kompeten. Sosialisasi dan pendidikan hukum menjadi prioritas, agar qanun tidak hanya menjadi teks normatif, tetapi hukum yang hidup.

Sebagai wilayah yang memiliki kekhususan, Aceh dapat menjadi model penting dalam diskursus otonomi daerah di Indonesia. Keberhasilan qanun dalam menyeimbangkan syariat, HAM, dan supremasi hukum akan menjadi tolok ukur masa depan legal pluralism di Indonesia. Dan untuk itu, perlu kerja sama antara ulama, akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat luas.

Artikel Terkait

Rekomendasi