Keadilan Hukum: Antara Perlindungan yang Sama dan Kesetaraan yang Timpang

Author PhotoDesi Sommaliagustina
02 Jun 2025
Sidang di Mahkamah Konstitusi (www.aman.or.id).
Sidang di Mahkamah Konstitusi (www.aman.or.id).

Dalam banyak konstitusi modern, termasuk UUD 1945 Pasal 28D ayat (1), kita menjumpai jaminan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Prinsip ini dikenal sebagai equal protection of the law. Ia merupakan doktrin universal dalam sistem demokrasi yang menghendaki semua warga negara diperlakukan secara setara oleh hukum negara.

Namun, praktik hukum hari ini menunjukkan gejala sebaliknya. Di tengah janji kesetaraan itu, kita justru menyaksikan berbagai ketimpangan hukum yang tajam dan menyakitkan. Prinsip equal protection seolah hanya berlaku pada teks peraturan, bukan pada realitas sosial.

Kasus pembebasan terdakwa korupsi BTS Kominfo, yang hukumannya terus ditunda dan ditangguhkan dengan berbagai celah hukum, berbanding kontras dengan seorang ibu rumah tangga di Brebes yang divonis bersalah karena mencuri satu kotak susu di minimarket untuk anaknya. Kedua kasus itu tidak terjadi di alam hukum yang sama. Yang satu berada dalam sistem hukum yang mewah dan penuh celah, yang satu lagi dalam sistem hukum yang cepat, keras, dan kejam.

“Equal Among the Equals” atau Diskriminasi Terselubung?

Dalam wacana hukum, muncul adagium lain: equal among the equals — bahwa perlakuan yang sama hanya bisa diberikan kepada mereka yang berada dalam posisi yang setara. Frasa ini digunakan untuk membenarkan tindakan afirmatif kepada kelompok rentan, tetapi juga digunakan oleh elit untuk mempertahankan perlakuan istimewa.

Lihat bagaimana aparat berdalih ketika tidak bisa menahan pejabat tinggi yang terlibat dugaan kekerasan seksual di lingkungan birokrasi dan kampus. Mereka menyebut bahwa proses etik atau internal lebih utama sebelum proses pidana. Namun ketika mahasiswa pelaku pencurian motor diproses cepat dan ditahan seketika, tak ada ruang toleransi yang sama. Frasa equal among the equals berubah jadi senjata untuk mengistimewakan yang kuat dan menindas yang lemah.

Ketimpangan ini juga tampak dalam perlakuan terhadap pelanggaran netralitas aparat pada Pemilu 2024. Beberapa petinggi aparat yang secara terang-terangan menyatakan dukungan politik tidak pernah tersentuh proses hukum, bahkan dipromosikan. Di sisi lain, guru honorer yang mengkritik kebijakan pendidikan justru dituduh menyebar hoaks dan dibungkam lewat UU ITE.

Apakah hukum masih berani mengatakan bahwa semua warga negara mendapat perlindungan yang setara?

Dalam sistem hukum kita hari ini, terdapat ilusi kesetaraan hukum. Semakin tinggi jabatan dan modal sosial seseorang, semakin lebar ruang interpretasi hukum yang tersedia. Bahkan penegak hukum kerap terlihat lebih sibuk mencari celah pembebasan bagi pejabat bermasalah dibanding memperjuangkan keadilan korban.

Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual yang menjerat beberapa pejabat universitas dan kementerian pada 2023–2025, aparat cenderung lebih protektif terhadap pelaku yang memiliki kekuasaan, ketimbang membela hak-hak korban. Banyak kasus mandek di penyelidikan, atau ditutup dengan alasan mediasi, padahal kekerasan seksual adalah delik aduan terbatas yang telah diluaskan oleh UU TPKS menjadi delik umum dalam konteks tertentu.

Ketika hukum berubah menjadi tameng bagi pelaku kekuasaan dan tidak mampu melindungi warga biasa, maka prinsip equal protection telah lumpuh secara substansial.

Perlindungan atau Privilege? Dilema Affirmative Action

Tindakan afirmatif, yang sejatinya dimaksudkan untuk memperbaiki ketimpangan struktural, justru menjadi kambing hitam oleh kelompok dominan. Ketika kuota politik perempuan digugat, mereka bersembunyi di balik prinsip kesetaraan formal. Padahal, kesetaraan yang dimaksud bukanlah menyamaratakan semua orang di garis start, tapi menciptakan keadilan hasil dalam situasi ketimpangan.

Penolakan terhadap kebijakan afirmatif juga tampak dalam protes terhadap alokasi khusus beasiswa untuk mahasiswa Papua atau penerimaan ASN dari kelompok disabilitas. Dalam logika formalistik, ini dianggap “diskriminatif”. Namun dalam logika keadilan substantif, ini adalah bentuk koreksi historis yang sah.

Sayangnya, sistem hukum kita masih cenderung menjunjung kesetaraan prosedural ketimbang keadilan substantif. Dalam berbagai putusan, pengadilan masih mendahulukan aspek legal-formal ketimbang substansi perlindungan bagi kelompok rentan. Kita masih menyaksikan bagaimana pengaduan dari komunitas adat sering kalah dalam sengketa tanah melawan perusahaan, hanya karena mereka tidak memiliki sertifikat formal.

Sistem hukum yang ideal tidak sekadar memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang, tetapi memahami bahwa tidak semua orang memulai dari tempat yang sama. Di sinilah hukum harus menjadi alat emansipasi — bukan sekadar penjaga kepastian, tetapi pembela keadilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa tahun terakhir memberi secercah harapan. Putusan MK No. 82/PUU-XX/2023, misalnya, yang membatalkan pasal-pasal diskriminatif dalam UU Cipta Kerja terhadap pekerja perempuan dan penyandang disabilitas, menunjukkan keberanian konstitusional dalam memperjuangkan keadilan substantif. Namun upaya seperti ini masih sporadis dan tidak cukup untuk membongkar dominasi hukum yang elitis.

Untuk mewujudkan equal protection of the law yang sejati, dibutuhkan reformasi struktural pada lembaga penegak hukum, pelatihan berbasis hak asasi bagi aparat, serta reformasi kurikulum hukum agar calon penegak hukum lebih peka terhadap keadilan sosial. Tanpa perubahan paradigma ini, kita hanya akan terus melihat hukum digunakan untuk melindungi yang kuat dan membungkam yang lemah.

Pada akhirnya, memilih antara equal protection dan equal among the equals bukan semata soal prinsip hukum, tetapi soal keberanian berpihak. Dalam masyarakat yang timpang, netralitas hukum hanya akan melanggengkan ketimpangan.

Jika negara ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap hukum, maka hukum harus mulai membela mereka yang paling kecil suaranya. Bukan sekadar karena mereka lemah, tetapi karena keadilan sejati hanya akan hidup jika ia melindungi yang tak terlindungi.

Keadilan bukan berarti memperlakukan semua orang secara sama, tetapi memberi setiap orang apa yang layak dan adil menurut kondisi mereka. Di situlah equal protection menemukan makna sejatinya.

Artikel Terkait

Rekomendasi