Keputusan Polres Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, yang hanya memberi sanksi salat lima waktu kepada enam anggotanya yang terbukti positif narkoba menuai kontroversi dan kritik tajam dari masyarakat. Keenam anggota polisi tersebut terjaring dalam tes urine mendadak dan dinyatakan positif menggunakan narkoba jenis sabu. Namun, alih-alih dikenai sanksi pidana atau pemecatan, mereka hanya diwajibkan melaksanakan salat lima waktu sebagai bentuk pembinaan disiplin.
Kapolres Hulu Sungai Tengah, AKBP Jupri JHP Tampubolon, membenarkan bahwa sanksi tersebut diberikan sebagai upaya pembinaan keagamaan. “Mereka diwajibkan melaksanakan salat lima waktu. Ini bentuk pembinaan agar mereka berubah ke arah yang lebih baik,” ujar Jupri, seperti dikutip dari berbagai sumber.
Keputusan ini langsung memicu gelombang reaksi di media sosial. Banyak warganet yang menilai sanksi tersebut terlalu ringan dan tidak sepadan dengan pelanggaran berat yang dilakukan. Kritik juga mengemuka lantaran salat lima waktu merupakan kewajiban setiap Muslim, bukan bentuk hukuman. “Sholat itu kewajiban, bukan hukuman,” tulis salah satu netizen di Instagram.
Sebagian netizen bahkan menilai keputusan tersebut sebagai bentuk perlindungan institusi terhadap anggotanya dan mempertanyakan keadilan hukum. “Polisi melindungi rekan-rekannya, bukan rakyat,” sindir akun lain.
Tak sedikit pula yang menilai langkah ini sebagai penghinaan terhadap ajaran agama Islam. “Sholat dijadikan sebagai hukuman? Astaghfirullah! Itu penghinaan buat agama Islam!” tulis seorang pengguna media sosial.
Sementara itu, Kapolres HST menegaskan keenam anggota tersebut tidak diperbolehkan pulang dan tetap berada di bawah pengawasan selama masa pembinaan. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan lebih lanjut terkait kemungkinan sanksi disiplin atau pidana lanjutan.
Kasus ini menambah daftar panjang sorotan publik terhadap penegakan hukum di tubuh Polri, terutama dalam penanganan pelanggaran berat seperti penyalahgunaan narkoba di lingkungan kepolisian.
Sumber :