Matinya Reformasi dan Runtuhnya Meritokrasi

Author PhotoDesi Sommaliagustina
23 May 2025
Screenshot_2025-05-23-23-52-18-32

Kita pernah sepakat bahwa era Orde Baru harus ditinggalkan. Bahwa militer harus kembali ke barak, dan jabatan sipil diisi oleh orang-orang sipil. Kita pernah sepakat membangun Indonesia atas dasar meritokrasi, bukan kroni dan pangkat. Tapi hari ini, kesepakatan itu retak. Dan bukti paling telanjang dari keretakan itu adalah penempatan perwira tinggi aktif di jabatan sipil, lengkap dengan pembungkaman suara kritis yang menyertainya.

Penempatan perwira aktif TNI dalam jabatan sipil bertentangan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang secara tegas menyatakan bahwa: “Prajurit aktif TNI dilarang menduduki jabatan sipil.” Pengecualian atas larangan ini hanya dibenarkan dalam kondisi tertentu dan terbatas, sebagaimana diatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan.

Namun, dalam praktik ketatanegaraan yang sehat, tafsir terhadap pengecualian harus bersifat ketat (strict interpretation), bukan lentur mengikuti kehendak politik penguasa. Lebih jauh, dalam konteks ASN, Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebut bahwa penyelenggaraan manajemen ASN harus berdasarkan pada sistem merit, yakni “kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin, umur, atau kondisi kecacatan.”

Ketika jabatan ASN diserahkan pada perwira militer aktif, maka prinsip meritokrasi ini dilanggar secara fundamental. Kompetisi terbuka digantikan oleh pengangkatan tertutup. Kualifikasi sipil disingkirkan oleh pangkat militer. Ini bukan hanya soal prosedur administratif, tapi persoalan serius dalam sistem hukum dan demokrasi kita.

Ancaman Serius terhadap Kebebasan Berpendapat

Kebebasan menyampaikan pendapat secara lisan dan tulisan dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta oleh Pasal 14 dan 28 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 1 angka 4 serta Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Penghapusan tulisan opini atau kolom yang disampaikan secara sah dan argumentatif oleh media pers, serta ancaman terhadap keselamatan penulisnya, merupakan bentuk nyata dari pembungkaman kebebasan berpendapat.

Jika alasan penghapusan adalah demi keselamatan penulis, maka yang harus kita cermati adalah siapa yang menjadi ancaman. Dalam negara demokrasi, kekuasaan bukanlah institusi yang anti-kritik. Dan ketika negara gagal menjamin keselamatan mereka yang bersuara, maka negara tersebut sedang mencabut hak warganya untuk berpikir merdeka.

Reformasi lahir dari trauma masa lalu: dominasi militer dalam politik sipil, birokrasi yang feodal, serta ketakutan menyampaikan kritik. Ketika kita membiarkan jenderal aktif menduduki jabatan sipil tanpa mekanisme kontrol publik, dan lebih buruk lagi, ketika kritik terhadap itu justru dibungkam, maka kita tidak sedang menjalankan demokrasi, melainkan membangun ulang otoritarianisme dalam selimut legalitas semu.

Ironisnya, semua ini berlangsung dalam senyap. Reformasi tidak mati dengan kekerasan, tetapi dengan pengkhianatan diam-diam atas regulasi yang kita buat sendiri. Aturan hukum ditabrak demi pragmatisme politik. Kritik dibungkam demi stabilitas semu. Dan meritokrasi ASN diganti dengan loyalitas hirarkis yang menjadikan birokrasi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan, bukan pelayanan publik.

Kita tidak sedang membahas satu orang jenderal atau satu jabatan teknokratik. Kita sedang membahas arah masa depan pemerintahan sipil Indonesia. Apakah kita akan kembali ke zaman di mana jabatan publik ditentukan oleh pangkat militer? Atau kita ingin membangun pemerintahan modern berbasis kompetensi dan hukum?

Penempatan jenderal aktif di jabatan sipil, disertai pembungkaman kritik melalui penghapusan opini, bukan hanya bentuk kemunduran demokrasi. Ini adalah pengumuman kematian reformasi secara terang-terangan. Kini, yang tersisa hanya seremoni kosong, sementara ruh reformasi telah dikuburkan oleh kompromi politik dan kebungkaman kita sendiri.

Artikel Terkait

Rekomendasi