Bupati Liburan ke Jepang: Pelanggaran Etika Publik atau Cacat Administrasi?

Author PhotoDesi Sommaliagustina
10 Apr 2025
lucky-hakim-usai-diperiksa-kemendagri-terkait-liburan-ke-jepang-tanpa-izin-1744113944896_169

Lebaran 2025, yang jatuh pada 1 Syawal 1446 Hijriah, membawa sukacita bagi umat Islam di seluruh penjuru negeri. Namun, di Indramayu, euforia Idul Fitri justru diselingi kegelisahan dan tanda tanya publik. Bupati Indramayu, Lucky Hakim, dilaporkan bepergian ke Jepang saat masyarakat merayakan hari besar keagamaan ini.

Kepergian itu terjadi ketika Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) secara resmi mengeluarkan surat edaran yang melarang kepala daerah melakukan perjalanan ke luar negeri selama masa libur Idul Fitri. Larangan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah pusat menilai, peran kepala daerah sangat dibutuhkan untuk memastikan pelayanan publik, stabilitas harga pangan, dan ketertiban masyarakat berjalan baik selama Lebaran.

Ironisnya, larangan tersebut justru diabaikan oleh pejabat daerah yang seharusnya menjadi panutan. Kepergian ke luar negeri bukan hanya menimbulkan pertanyaan hukum, tetapi juga mempertajam kritik publik soal komitmen pelayanan dan sensitivitas sosial seorang kepala daerah.

Banyak pihak memandang remeh kekuatan hukum surat edaran. Namun, dalam sistem pemerintahan daerah yang menganut prinsip otonomi asimetris, surat edaran menteri, khususnya dari Kemendagri, memiliki bobot koordinatif yang tinggi. Surat edaran tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi instrumen pelaksana kebijakan nasional dalam konteks hubungan hierarkis antara pemerintah pusat dan daerah.

Pasal 67 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa kepala daerah berkewajiban menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional. Larangan bepergian ke luar negeri pada masa libur Idul Fitri adalah kebijakan nasional yang dirumuskan demi pelayanan publik yang optimal.

Kepatuhan terhadap surat edaran semacam itu tidak bisa dimaknai sebagai bentuk sukarela semata. Dalam konteks otonomi yang bertanggung jawab, kepala daerah terikat secara moral dan administratif untuk melaksanakannya.

Etika Publik dan Ketidakhadiran Simbolik

Tindakan Bupati Indramayu yang meninggalkan wilayahnya saat perayaan Idul Fitri dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif. Pasal 78 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah memberi kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk memberhentikan kepala daerah yang tidak melaksanakan kewajibannya atau melanggar sumpah jabatan.

Bentuk sanksi terhadap pelanggaran administratif memang bertingkat. Mulai dari teguran tertulis, penghentian hak keuangan, pembinaan khusus, hingga pemberhentian dengan tidak hormat apabila terdapat unsur pelanggaran berat atau berulang.

Meski begitu, publik tidak boleh terkecoh dengan klasifikasi “administratif” yang terkesan ringan. Dalam praktik pemerintahan, pelanggaran administratif sering kali menjadi indikasi awal dari lemahnya integritas kepemimpinan.

Jika kepala daerah dengan mudah mengabaikan instruksi Kemendagri yang berlaku secara nasional, maka dikhawatirkan akan terjadi pengabaian terhadap prinsip tata kelola pemerintahan yang lebih luas.

Dalam dimensi yang lebih dalam, kepergian kepala daerah ke luar negeri saat masyarakat merayakan hari raya keagamaan menunjukkan kurangnya empati dan kepekaan sosial. Seorang pemimpin bukan hanya pelaksana regulasi, melainkan simbol kehadiran negara di tengah rakyat.

Idul Fitri adalah momen yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia. Kehadiran seorang bupati bukan hanya dinanti dalam kegiatan seremonial, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai kebersamaan dan pelayanan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, ditegaskan bahwa pejabat publik harus menjunjung tinggi kehormatan jabatan, menjaga keteladanan, serta menghindari tindakan yang menciderai kepercayaan masyarakat.

Sayangnya, tindakan liburan ke Jepang di saat seluruh perhatian publik tertuju pada penyelenggaraan layanan dasar dan stabilitas sosial, menunjukkan adanya kegagalan memahami peran simbolik kepemimpinan dalam kultur politik Indonesia.

Peran DPRD dan Kontrol Sosial

Pengawasan terhadap kepala daerah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. DPRD sebagai representasi politik masyarakat di tingkat lokal harus bersikap aktif dan proporsional. DPRD Indramayu memiliki kewenangan untuk memanggil kepala daerah dalam rangka meminta klarifikasi serta menggunakan hak-hak konstitusional seperti hak interpelasi atau hak menyatakan pendapat jika dinilai perlu.

Dalam jangka panjang, masyarakat juga perlu terus mengawal perilaku pejabat publik melalui pengawasan sosial dan media. Demokrasi tidak hanya dibangun dari prosedur elektoral, tetapi juga dari praktik akuntabilitas sehari-hari.

Kepala daerah yang abai terhadap suara rakyat harus siap menghadapi koreksi, baik secara politik, administratif, maupun moral. Sebab pada akhirnya, jabatan adalah amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab, bukan kesempatan untuk melancong.

Dalam demokrasi yang sehat, kepala daerah adalah pelayan publik. Ia tidak hanya dituntut hadir secara hukum, tetapi juga secara moral dan simbolik. Ketidakhadiran bupati saat momentum Idul Fitri mencerminkan krisis etika kepemimpinan yang harus segera dikoreksi.

Negara ini tidak butuh pejabat yang hanya hadir saat kampanye atau seremonial belaka. Negara butuh pemimpin yang setia bekerja di hari-hari sibuk, hadir di tengah rakyat saat dibutuhkan, dan paham bahwa jabatan bukan hak istimewa pribadi.

Jika kepala daerah merasa lebih terpanggil menikmati sakura di Jepang ketimbang merayakan Idul Fitri bersama warganya, maka wajar bila publik mempertanyakan: masih layakkah ia memimpin?

Artikel Terkait

Rekomendasi