Kepala Babi untuk Tempo: Simbol, Kebebasan Berekspresi, dan Konsekuensi Hukumnya

Author PhotoDesi Sommaliagustina
20 Mar 2025
92f86d3a-850b-4aee-8be4-342e35f15c2a

Kali ini, publik dikejutkan dengan peristiwa pengiriman kepala babi ke kantor Tempo, sebuah media yang dikenal kritis dalam pemberitaannya. Tindakan ini tentu bukan sekadar kebetulan atau lelucon, melainkan sarat dengan pesan tertentu. Namun, bagaimana hukum harus menyikapinya? Apakah ini masih dalam ranah kebebasan berekspresi, atau sudah masuk dalam kategori ancaman dan tindak pidana?

Dalam kajian hukum, simbol memiliki makna yang bisa sangat subjektif, tergantung pada konteks penggunaannya. Kepala babi, dalam banyak budaya, kerap dikaitkan dengan penghinaan atau ancaman terselubung. Dalam konteks hukum pidana, penggunaan simbol tertentu bisa dikategorikan sebagai bentuk intimidasi jika tujuannya untuk menakut-nakuti atau menekan pihak tertentu.

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mengatur ancaman melalui media elektronik, serta Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, bisa menjadi dasar untuk menilai perbuatan ini sebagai tindakan yang melanggar hukum.

Jika pengiriman kepala babi ini ditujukan untuk menekan kebebasan pers atau membungkam kritik, maka bisa pula dikategorikan sebagai bentuk serangan terhadap kebebasan pers, yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Apakah hal ini ada unsur tindak pidana? Menurut saya untuk menentukan apakah perbuatan ini merupakan tindak pidana, perlu dianalisis beberapa aspek:
Pertama, Unsur Ancaman atau Intimidasi. Jika kepala babi dikirim dengan maksud menakut-nakuti atau mengintimidasi jurnalis agar berhenti melaporkan suatu kasus, maka bisa dikategorikan sebagai ancaman pidana (Pasal 29 UU ITE jo. Pasal 335 KUHP).

Kedua, Motif dan Konteks. Apakah tindakan ini dilakukan sebagai bentuk protes, atau ada niat lebih jauh untuk menciptakan ketakutan? Jika ditemukan unsur paksaan atau ancaman, hukum harus ditegakkan.

Ketiga, Hak Kebebasan Pers. Jika terbukti bahwa tindakan ini ditujukan untuk membungkam kebebasan pers, maka negara berkewajiban melindungi jurnalis dan menjamin bahwa praktik jurnalisme tidak terhambat oleh ancaman atau tekanan semacam ini.

Jurnalisme yang independen adalah pilar utama demokrasi. Jika praktik intimidasi seperti ini dibiarkan, maka akan muncul preseden buruk yang dapat mengancam kebebasan pers secara luas. Pengiriman kepala babi bukan sekadar ekspresi ketidaksukaan, tetapi bisa dilihat sebagai upaya sistematis untuk menciptakan iklim ketakutan bagi media yang kritis.

Dalam kasus ini, Tempo harus segera membuat laporan atas tindakan ini ke aparat penegak hukum. Agar aparat penegak hukum segera bertindak dengan menyelidiki siapa pelaku di balik pengiriman kepala babi tersebut. Karena pengiriman kepala babi ke Tempo bukan sekadar tindakan spontan, tetapi mengandung makna yang bisa ditafsirkan sebagai ancaman.

Dalam perspektif hukum, tindakan ini berpotensi melanggar KUHP, UU ITE, dan UU Pers. Negara tidak boleh tinggal diam. Hukum harus ditegakkan untuk memastikan bahwa kebebasan pers tetap terlindungi dan tidak tunduk pada intimidasi. Semoga!

Artikel Terkait

Rekomendasi