Pendidikan tinggi semestinya menjadi benteng terakhir dalam menjaga integritas keilmuan. Berbagai kasus yang mencoreng dunia akademik terus mencuat, termasuk kontroversi disertasi Bahlil Lahadalia yang mengundang perdebatan luas. Kasus ini bukan sekadar persoalan akademik, tetapi juga mengarah pada krisis kepercayaan terhadap perguruan tinggi sebagai institusi yang seharusnya menjaga marwah pendidikan.
Perguruan tinggi memiliki peran utama dalam memastikan bahwa standar akademik tetap terjaga. Dalam konteks pendidikan tinggi, gelar akademik seperti doktor harus diberikan melalui proses yang ketat, berbasis penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ketika standar tersebut dikompromikan, keabsahan gelar akademik menjadi pertanyaan serius.
Kasus disertasi Bahlil mengindikasikan adanya kemungkinan penyimpangan dalam mekanisme akademik. Jika ditemukan bahwa proses akademik tidak berjalan sebagaimana mestinya baik dalam hal orisinalitas karya, substansi ilmiah, maupun independensi pengujian maka hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Secara hukum, pemberian gelar akademik tunduk pada regulasi yang ketat, termasuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 24 UU tersebut menegaskan bahwa gelar akademik hanya dapat diberikan kepada mereka yang memenuhi syarat akademik yang ditetapkan. Jika terjadi penyimpangan, termasuk dugaan plagiarisme atau intervensi non-akademik dalam proses pengujian, maka hal ini dapat masuk dalam ranah pelanggaran hukum.
Selain itu, dalam lingkup etik akademik, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2014 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa setiap perguruan tinggi wajib menjaga mutu akademik, termasuk dalam proses penelitian dan pemberian gelar. Jika perguruan tinggi terbukti gagal menjaga standar tersebut, maka ada potensi sanksi administratif hingga pencabutan akreditasi.
Jika marwah pendidikan tinggi terus terkikis akibat praktik akademik yang dipertanyakan, maka dampaknya tidak hanya pada individu yang bersangkutan, tetapi juga pada reputasi institusi pendidikan secara keseluruhan. Hal ini bisa berimplikasi pada menurunnya kepercayaan publik terhadap gelar akademik yang diberikan oleh universitas-universitas di Indonesia.
Sebagai solusi, ada beberapa langkah yang harus segera diambil oleh perguruan tinggi di Indonesia. Langkah pertama yang bisa diambil, perguruan tinggi harus memperketat mekanisme pengawasan dalam penyusunan, pengujian, dan publikasi karya ilmiah. Langkah kedua, setiap dugaan pelanggaran akademik harus ditindak dengan serius, termasuk dengan mekanisme investigasi independen. Terakhir, diperlukan revisi kebijakan untuk memastikan bahwa tidak ada celah bagi praktik-praktik akademik yang menyimpang.
Pada akhirnya, kasus disertasi Bahlil bukan sekadar isu personal, tetapi alarm bagi dunia akademik Indonesia. Jika perguruan tinggi tidak lagi mampu menjaga marwah pendidikan, maka integritas sistem pendidikan kita berada dalam bahaya. Sudah saatnya reformulasi kebijakan akademik dilakukan agar gelar akademik tetap memiliki makna dan kredibilitas yang tinggi di mata masyarakat dan dunia internasional.