Meningkatnya perang sarung di bulan ramadan, ini dia ancamanya !

Author PhotoNadia Nurhalija, S.H
04 Mar 2025
th (1)

Tradisi perang sarung yang dahulu hanya menjadi permainan khas anak-anak saat Ramadan, kini bergeser menjadi aksi tawuran berbahaya yang mengancam nyawa. Tradisi budaya yang berasal dari suku Bugis ini telah disalahgunakan oleh sejumlah remaja di berbagai wilayah Indonesia.

Perang sarung yang awalnya sekadar permainan seru, kini menjelma menjadi ajang unjuk keberanian. Lebih parah lagi, sarung yang digunakan kerap diisi benda keras seperti batu dan kayu di ujungnya, sehingga berpotensi melukai lawan. Tak jarang, perang sarung modern ini bahkan melibatkan senjata tajam.

Fenomena ini semakin marak terjadi di bulan Ramadan. Para pelaku yang didominasi remaja dan anak putus sekolah, kerap menggelar perang sarung di waktu-waktu rawan, seperti saat warga sedang Salat Tarawih atau menjelang sahur. Aktivitas yang dulu hanya meninggalkan tangis dan teguran orang tua, kini telah menelan korban jiwa.

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat (1), setiap orang berhak mendapatkan perlindungan diri, keluarga, harta benda, dan rasa aman. Sayangnya, perang sarung yang telah bergeser menjadi aksi kriminal ini justru melanggar hak asasi orang lain. Pelaku yang terlibat tawuran dapat dijerat Pasal 358 KUHP, dengan ancaman hukuman 2 tahun 8 bulan jika menyebabkan luka berat, atau hingga 4 tahun jika mengakibatkan kematian.

Bagi pelaku yang masih berstatus anak, sanksi pidana tetap bisa dijatuhkan sesuai Pasal 45 KUHP, dengan syarat minimal berusia 16 tahun. Namun, merujuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, batas usia pertanggungjawaban pidana anak diturunkan menjadi 12 tahun hingga sebelum 18 tahun.

Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti, menyoroti fenomena ini sebagai bentuk degradasi moral yang harus segera ditangani. Menurutnya, tradisi perang sarung yang dulunya penuh keceriaan kini telah berubah menjadi aksi kekerasan yang mematikan.

Perang sarung juga menimbulkan dampak luas, mulai dari luka-luka, trauma psikis, kerugian materi akibat kerusakan fasilitas umum dan kendaraan, hingga menurunnya kualitas pendidikan di kalangan remaja pelaku. Jika dibiarkan, hal ini dapat merusak mental generasi muda dan memperburuk citra bulan suci Ramadan.

Pemerintah, aparat kepolisian, orang tua, guru, serta seluruh elemen masyarakat diharapkan segera bersinergi mencari solusi. Pengawasan sosial dan sosialisasi intensif dinilai penting agar perang sarung tidak lagi menyimpang dan kembali menjadi tradisi yang menghibur, bukan mengancam nyawa.

Seperti yang diingatkan sosiolog Prof. Dr. Awan Mutakin, sistem sosial yang stabil hanya bisa terwujud jika ada pengawasan sosial yang efektif. Masyarakat diajak untuk menjaga keluarganya dari keterlibatan aksi tawuran, agar tak menjadi pelaku ataupun korban.

Perang sarung bukan lagi sekadar tradisi, tetapi alarm darurat bagi kita semua. Penyesalan selalu datang terlambat, dan nyawa tak bisa dibeli.

Sumber :

https://m.kumparan.com/amp/yuyunluntungan29/perang-sarung-sebuah-tradisi-atau-tindakan-kriminal-22T25536y9C

https://www.hariankepri.com/perang-sarung/amp/

Artikel Terkait

Rekomendasi