Sebagai negara dengan luas wilayah terbesar dan populasi terbanyak di ASEAN, Indonesia memiliki peran strategis dalam membentuk kebijakan dan dinamika kawasan. Sejak menjadi salah satu pendiri ASEAN pada 1967, Indonesia terus berupaya menegakkan prinsip-prinsip hukum internasional dalam berbagai kerja sama regional. Namun, tantangan hukum dalam integrasi ASEAN kerap menguji efektivitas peran Indonesia, terutama dalam isu-isu seperti sengketa perbatasan, perlindungan tenaga kerja migran, dan penegakan hukum di bidang perdagangan bebas.
Dalam berbagai forum ASEAN, Indonesia sering dianggap sebagai de facto pemimpin regional. Posisi ini diperkuat dengan diplomasi aktifnya dalam menjaga stabilitas kawasan, baik melalui mekanisme ASEAN Way maupun prinsip non-intervensi. Misalnya, Indonesia berperan dalam penyelesaian konflik di Kamboja (1991) dan turut serta dalam diplomasi penyelesaian krisis politik di Myanmar.
Di bidang hukum internasional, Indonesia berkontribusi dalam pembentukan berbagai perjanjian ASEAN, seperti ASEAN Charter (Piagam ASEAN) yang menjadi landasan hukum organisasi ini sejak 2008. Indonesia juga berperan dalam mendorong ASEAN Human Rights Declaration tahun 2012 sebagai komitmen kawasan terhadap hak asasi manusia.
Tantangan Hukum dalam Integrasi ASEAN
Meski memiliki peran kuat, Indonesia menghadapi berbagai tantangan hukum dalam kerangka kerja ASEAN. Pertama, kedaulatan dan sengketa perbatasan. Beberapa negara ASEAN masih memiliki sengketa perbatasan, baik darat maupun laut. Indonesia sendiri pernah mengalami ketegangan dengan Malaysia terkait Blok Ambalat dan dengan Vietnam terkait zona ekonomi eksklusif. Penyelesaian sengketa ini membutuhkan komitmen terhadap hukum internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Kedua, perlindungan tenaga kerja migran. Sebagai negara pengirim tenaga kerja terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki kepentingan untuk memastikan perlindungan hukum bagi pekerjanya, terutama di Malaysia dan Singapura. Meskipun ASEAN telah memiliki ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (2017), implementasinya masih lemah karena sifatnya yang tidak mengikat (non-binding).
Ketiga, penerapan ASEAN Economic Community (AEC). Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menghadirkan tantangan hukum dalam harmonisasi peraturan nasional dengan standar regional. Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan domestiknya tetap selaras dengan aturan ASEAN tanpa mengorbankan kepentingan nasional.
Indonesia memiliki peran sentral dalam ASEAN, baik sebagai motor diplomasi maupun dalam penguatan hukum regional. Namun, tantangan dalam sengketa perbatasan, perlindungan tenaga kerja, dan harmonisasi hukum dalam MEA menunjukkan bahwa peran Indonesia harus lebih proaktif. Diperlukan pendekatan yang lebih strategis dalam diplomasi hukum agar ASEAN semakin solid sebagai komunitas yang berlandaskan aturan hukum (rule-based community).
Sebagai negara yang berkomitmen pada hukum internasional, Indonesia harus terus mendorong ASEAN agar tidak hanya menjadi forum kerja sama ekonomi, tetapi juga menjadi kawasan yang menjunjung tinggi supremasi hukum demi stabilitas dan kesejahteraan bersama.