Pejabat Publik Tidak Paham Hukum

Author PhotoDesi Sommaliagustina
03 Mar 2025
d9ef619a-3692-4444-9f54-debe478ee6ea

Dalam negara hukum (rechtsstaat), pemahaman terhadap hukum seharusnya menjadi prasyarat bagi setiap pejabat publik. Namun, kenyataannya, banyak pejabat yang justru menunjukkan ketidaktahuan terhadap aturan hukum yang mengikat tugas dan kewenangannya. Salah satu kasus yang terjadi baru-baru ini ketika Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang diikuti oleh Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) terkait “Presiden bisa memberhentikan kepala daerah” hal ini disampaikan oleh Bima Arya. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan, bagaimana hukum mengatur atau menyikapi ketidaktahuan hukum oleh pejabat publik?

Dalam asas hukum yang terkenal, ignorantia juris non excusat (ketidaktahuan hukum tidak dapat dijadikan alasan), setiap warga negara dianggap mengetahui hukum, terlebih lagi pejabat publik yang memiliki tanggung jawab besar dalam pengambilan keputusan. Ketidaktahuan ini tidak hanya dapat mencederai kepercayaan publik, tetapi juga berpotensi menimbulkan kesalahan fatal dalam kebijakan yang diambil.

Pejabat publik yang bertindak tanpa memahami hukum dapat dikategorikan ke dalam dua situasi. Pertama, pejabat yang tidak memiliki kompetensi hukum sejak awal. Kondisi ini sering terjadi ketika seseorang menduduki jabatan publik bukan berdasarkan keahlian, tetapi lebih karena faktor politik atau kepentingan tertentu. Kedua, pejabat yang mengabaikan atau tidak mau memahami hukum. Pejabat seperti ini sebenarnya memiliki akses untuk memahami hukum tetapi memilih untuk mengabaikannya, yang dapat mengarah pada penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Konsekuensi Hukum
Ketidaktahuan hukum oleh pejabat publik bukan hanya persoalan etika, tetapi juga memiliki implikasi hukum yang serius. Pertama, maladministrasi dan pelanggaran etika. Ketidaktahuan hukum dapat berujung pada maladministrasi, seperti penerbitan kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ombudsman dapat memberikan teguran atau rekomendasi atas pelanggaran ini. Selain itu, pejabat publik juga dapat dikenai sanksi etika oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atau dewan kehormatan dalam instansi terkait.

Kedua, pelanggaran hukum administrasi. Jika ketidaktahuan hukum menyebabkan keputusan yang merugikan masyarakat atau melanggar aturan yang berlaku, maka keputusan tersebut dapat dibatalkan melalui mekanisme peradilan tata usaha negara (PTUN).

Ketiga, tindak pidana penyalahgunaan wewenang. Dalam kasus yang lebih serius, ketidaktahuan hukum dapat berujung pada tindak pidana, terutama jika mengakibatkan kerugian negara. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa penyalahgunaan kewenangan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dapat dihukum penjara dan denda.

Untuk mencegah dampak negatif dari ketidaktahuan hukum, beberapa langkah harus dilakukan. Pertama, mewajibkan pendidikan hukum dasar bagi pejabat publik, terutama bagi mereka yang bukan berlatar belakang hukum. Kedua, meningkatkan peran lembaga pengawas seperti Ombudsman dan KPK untuk memberikan supervisi terhadap kebijakan dan tindakan pejabat publik.
Ketiga, memperkuat mekanisme pertanggungjawaban hukum, baik melalui pengadilan administrasi, dewan etik, maupun penegakan hukum pidana.

Seorang pejabat publik tidak dapat berlindung di balik ketidaktahuan hukum untuk menghindari tanggung jawab. Ketidaktahuan bukan alasan yang dapat diterima, tetapi justru dapat menjadi indikasi kelalaian atau bahkan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, pemahaman hukum yang baik bukan hanya sekadar kebutuhan, tetapi suatu kewajiban bagi pejabat publik agar dapat menjalankan tugasnya dengan benar dan bertanggung jawab.

Artikel Terkait

Rekomendasi