Setelah Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai Presiden Indonesia, wacana publik mengenai efektivitas kepemimpinannya dan kinerja para menterinya menjadi perbincangan hangat. Dalam konteks hukum tata negara, pertanyaan kritis yang muncul adalah jika sebuah kebijakan atau program pemerintahan gagal, apakah yang patut disalahkan adalah para menteri sebagai pelaksana teknis, ataukah kegagalan itu mencerminkan kelemahan sistematis yang menunjukkan kegagalan negara itu sendiri?
Secara konstitusional, Indonesia menganut sistem presidensial di mana Presiden memegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Dalam melaksanakan tugasnya, Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan diberhentikan olehnya (Pasal 17 UUD 1945). Artinya, menteri hanyalah pembantu Presiden, dan pada akhirnya, kebijakan strategis tetap berada di bawah kendali Presiden.
Namun, dalam praktiknya, menteri memiliki otonomi administratif untuk mengelola kementeriannya. Mereka bertanggung jawab atas pelaksanaan program di sektor masing-masing. Di sinilah sering terjadi politik cuci tangan, dimana kegagalan program nasional kerap dibebankan sepenuhnya kepada menteri, sementara peran Presiden sebagai pengendali kebijakan cenderung diabaikan.
Kegagalan Menteri: Refleksi Kegagalan Negara?
Kegagalan seorang menteri dalam menjalankan tugasnya tidak bisa dilepaskan dari konteks sistemik yang lebih luas. Seorang menteri bekerja dalam ekosistem politik, hukum, dan birokrasi yang kompleks. Ketika seorang menteri dianggap gagal, kita perlu mengajukan pertanyaan lanjutan:
Pertama, apakah kegagalan tersebut disebabkan oleh kurangnya kapasitas individu menteri?; Kedua, apakah ada hambatan struktural dalam birokrasi atau regulasi yang menghambat pelaksanaan kebijakan?; Ketiga, sejauh mana Presiden sebagai kepala eksekutif melakukan pengawasan dan intervensi terhadap kinerja para menterinya?
Jika jawabannya menunjukkan bahwa kegagalan tersebut bersifat sistemik misalnya, disebabkan oleh tumpang tindih regulasi, birokrasi yang korup, atau lemahnya koordinasi antarlembaga maka jelas bahwa ini bukan semata-mata kegagalan seorang menteri, melainkan cerminan dari kegagalan negara dalam membangun sistem pemerintahan yang efektif.
Prabowo Subianto dihadapkan pada tantangan besar untuk membuktikan bahwa pemerintahannya mampu mengatasi berbagai persoalan klasik, seperti inefisiensi birokrasi, korupsi, ketidakadilan sosial, dan stagnasi ekonomi. Dalam hal ini, Prabowo harus memastikan bahwa para menterinya bukan sekadar “pajangan politik” atau hasil kompromi koalisi, melainkan individu yang kompeten dan mampu bekerja sesuai visi pemerintahannya.
Jika kegagalan berulang terjadi di berbagai sektor, kita perlu mempertanyakan efektivitas sistem pengawasan dan kontrol internal yang diterapkan Presiden. Tidak cukup hanya mengganti menteri yang gagal, karena akar masalahnya mungkin terletak pada desain kebijakan, kultur birokrasi, atau bahkan pada gaya kepemimpinan Presiden sendiri.
Menyalahkan menteri secara sepihak tanpa melihat akar permasalahan yang lebih dalam adalah pendekatan yang simplistik. Di sisi lain, membiarkan kegagalan berlarut-larut tanpa evaluasi yang tegas juga merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip akuntabilitas publik.
Dalam konteks ini, Presiden Prabowo memiliki tanggung jawab historis untuk membuktikan bahwa pemerintahannya mampu mengatasi bukan hanya persoalan teknis di level kementerian, tetapi juga tantangan struktural yang selama ini menjadi sumber kegagalan negara. Jika tidak, kritik tajam akan beralih dari menteri yang gagal menjadi pertanyaan yang lebih fundamental. Apakah ini kegagalan individu, atau tanda bahwa negara kita sedang mengalami krisis dalam sistem tata kelolanya?