Perjanjian internasional menjadi salah satu pilar utama dalam membangun hubungan yang stabil dan harmonis antarnegara. Di kawasan Asia Tenggara, ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) menjadikan perjanjian internasional sebagai instrumen utama untuk mempererat kerja sama di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, keamanan, hingga budaya di tengah dinamika geopolitik dan perbedaan kepentingan nasional.
Sejak didirikan pada tahun 1967, ASEAN telah menginisiasi berbagai perjanjian internasional untuk memperkuat hubungan antarnegara anggotanya. Beberapa perjanjian penting seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, dan ASEAN Declaration on Human Rights menunjukkan upaya serius ASEAN dalam mengatasi tantangan bersama.
Melalui perjanjian ini, ASEAN tidak hanya menciptakan kerangka hukum yang mengikat, tetapi juga membangun kepercayaan antarnegara anggota. Contohnya, AFTA telah membuka jalan bagi perdagangan bebas yang mempercepat pertumbuhan ekonomi di kawasan. Pelaksanaan perjanjian ini tidak selalu berjalan mulus. Hambatan seperti perbedaan kapasitas ekonomi dan infrastruktur hukum antarnegara sering kali menjadi batu sandungan.
Implementasi Perjanjian Internasional ASEAN
Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi perjanjian internasional di ASEAN adalah keragaman sistem hukum dan tingkat kemajuan ekonomi negara-negara anggotanya. Indonesia, misalnya, menerapkan prinsip dualisme, dimana perjanjian internasional harus diadopsi ke dalam hukum nasional sebelum dapat diterapkan. Sebaliknya, Filipina dengan prinsip monisme memungkinkan perjanjian internasional langsung berlaku tanpa memerlukan legislasi tambahan.
Perbedaan ini sering kali menghambat harmonisasi hukum di tingkat regional. Selain itu, isu kedaulatan negara juga menjadi tantangan besar. Negara-negara anggota ASEAN cenderung berhati-hati dalam menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada organisasi regional, yang pada akhirnya memperlambat proses integrasi.
Untuk menjadikan perjanjian internasional lebih efektif, ASEAN perlu mengambil langkah progresif yang mengedepankan kolaborasi dan harmonisasi hukum. Pertama, ASEAN dapat membentuk mekanisme monitoring yang lebih kuat untuk memastikan kepatuhan negara anggota terhadap perjanjian internasional. Mekanisme ini tidak hanya berfungsi sebagai pengawas, tetapi juga sebagai platform dialog untuk menyelesaikan perselisihan.
Kedua, ASEAN perlu meningkatkan kapasitas institusi hukumnya. Pelatihan dan transfer pengetahuan antarnegara anggota dapat membantu memperkuat kemampuan dalam menyusun dan mengimplementasikan perjanjian internasional.
Ketiga, pendekatan inklusif yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta harus diperluas. Dengan melibatkan berbagai pihak, perjanjian internasional tidak hanya akan lebih representatif, tetapi juga lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, keamanan siber, dan ketegangan geopolitik, ASEAN harus memperkuat posisinya melalui perjanjian internasional yang visioner dan responsif. Perjanjian internasional bukan sekadar dokumen hukum, melainkan fondasi bagi kerja sama yang mampu menghadirkan solusi nyata bagi permasalahan regional. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara-negara anggota harus berkomitmen pada prinsip-prinsip kepercayaan dan solidaritas. ASEAN harus menjadi contoh bagaimana keragaman dapat menjadi kekuatan, bukan hambatan.
Pada akhirnya, keberhasilan perjanjian internasional di ASEAN tidak hanya diukur dari isi perjanjiannya, tetapi dari sejauh mana perjanjian tersebut dapat mengubah kehidupan masyarakat dikawasan. Integrasi regional yang sejati hanya dapat terwujud jika perjanjian internasional menjadi alat untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian bagi semua.