Kriminalisasi Akademisi sebagai Bentuk “Judicial Harassment”

Author PhotoDesi Sommaliagustina
15 Jan 2025
1368517_720

Kriminalisasi terhadap akademisi, khususnya dalam kasus yang menimpa Prof. Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, menimbulkan keprihatinan mendalam. Prof. Bambang dilaporkan ke Polda Bangka Belitung dengan tuduhan memberikan keterangan palsu terkait perhitungannya atas kerugian lingkungan sebesar Rp271 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah.

Keterangan ahli yang diberikan oleh akademisi di muka persidangan merupakan bagian dari kebebasan akademik dan otonomi keilmuan yang dilindungi oleh hukum. Aktivitas ini sejalan dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam pengabdian kepada masyarakat. Menurut Pasal 47 UU Pendidikan Tinggi, pengabdian kepada masyarakat adalah kegiatan sivitas akademika dalam mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pelaporan terhadap akademisi ini dapat dilihat sebagai bentuk judicial harassment, yaitu intimidasi melalui jalur hukum yang bertujuan membungkam partisipasi publik. Serangan semacam ini tidak hanya merugikan individu yang bersangkutan tetapi juga mengancam kebebasan akademik secara keseluruhan.

Menurut Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), seorang ahli tidak dapat dituntut pidana atau digugat perdata karena perannya membantu majelis hakim mendapatkan pertimbangan yang lebih komprehensif dalam memutus perkara.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum bagi Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat menegaskan bahwa pejuang lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Dalam konteks ini, akademisi yang memberikan keterangan ahli dalam kasus lingkungan termasuk subjek yang dilindungi oleh peraturan tersebut.

Kriminalisasi terhadap akademisi tentunya menimbulkan dampak negatif pada upaya penegakan hukum dan perlindungan lingkungan di Indonesia. Hal ini dapat menciptakan efek jera (chilling effect) bagi akademisi lain yang ingin berkontribusi dalam penegakan hukum melalui keahlian mereka. Selain itu, tindakan semacam ini dapat merusak tatanan hukum dan menghambat upaya pemberantasan korupsi serta perusakan lingkungan.

Kriminalisasi ini merupakan ancaman serius terhadap kebebasan akademik dan upaya penegakan hukum di Indonesia. Pihak berwenang seharusnya menghentikan proses hukum yang tidak berdasar ini dan memastikan perlindungan bagi akademisi yang berperan sebagai ahli dalam persidangan. Hanya dengan demikian, integritas penegakan hukum dan perlindungan lingkungan dapat terjaga, serta kebebasan akademik dapat dihormati sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.

Artikel Terkait

Rekomendasi