Dalam beberapa waktu terakhir, diskursus mengenai perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun menjadi topik hangat di masyarakat. Perubahan ini diperkenalkan melalui revisi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Wacana ini memunculkan berbagai tantangan, termasuk pertanyaan mengenai kemungkinan diajukannya uji materi atas perpanjangan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu isu hukum yang menarik untuk dibahas adalah apakah uji materi atas aturan ini dapat dikatakan kehilangan objek.
Dalam konteks hukum, uji materi di Mahkamah Konstitusi adalah mekanisme untuk menguji konstitusionalitas suatu norma dalam undang-undang terhadap UUD 1945. Kehilangan objek terjadi ketika norma yang menjadi dasar permohonan tersebut sudah tidak berlaku atau relevan lagi untuk diuji karena suatu perubahan atau pembatalan. Dalam perkara perpanjangan masa jabatan kepala desa, kemungkinan kehilangan objek dapat terjadi jika norma yang diujikan telah digantikan oleh revisi undang-undang yang baru.
Perubahan Pasal 39 UU Desa merupakan bagian dari dinamika hukum yang kerap terjadi dalam legislasi nasional. Pasal ini sebelumnya mengatur masa jabatan kepala desa selama enam tahun, dan dengan revisi, diperpanjang menjadi sembilan tahun. Apabila ada pihak yang mengajukan uji materi terhadap norma lama, pengujian ini berpotensi kehilangan objek karena norma tersebut tidak lagi berlaku.
Hal ini didasarkan pada doktrin lex posterior derogat legi priori, yang berarti hukum yang baru menggantikan hukum yang lama sepanjang pengaturannya bertentangan atau berbeda. Dengan demikian, norma lama tidak lagi dapat menjadi dasar pengujian.
Jika MK menyatakan bahwa permohonan uji materi kehilangan objek, maka pengujian tidak akan dilanjutkan, dan permohonan akan dinyatakan tidak dapat diterima. Ini membawa implikasi besar bagi para pemohon, terutama mereka yang mempermasalahkan perubahan ini. Di sisi lain, jika norma baru yang telah disahkan juga dirasa bertentangan dengan UUD 1945, para pihak masih memiliki hak untuk mengajukan uji materi ulang terhadap norma yang baru.
Perubahan masa jabatan kepala desa menimbulkan berbagai pandangan. Para pendukung mengklaim bahwa perpanjangan ini memberikan stabilitas dalam pemerintahan desa serta memungkinkan kepala desa fokus pada pembangunan jangka panjang. Kritik juga muncul karena potensi penyalahgunaan wewenang dan berkurangnya mekanisme checks and balances.
Secara konstitusional, uji materi terhadap norma ini dapat didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, pembatasan kekuasaan, dan partisipasi rakyat yang diatur dalam UUD 1945. Pengujian ini harus dilakukan terhadap norma yang berlaku, bukan norma yang sudah diubah.
Dalam hukum tata negara, kehilangan objek merupakan isu penting yang sering muncul dalam proses uji materi. Dalam kasus perpanjangan masa jabatan kepala desa, relevansi norma menjadi kunci dalam menentukan kelanjutan pengujian. Oleh karena itu, para pemohon harus memastikan bahwa norma yang diujikan adalah norma yang masih berlaku, sehingga proses uji materi dapat berjalan secara efektif dan memberikan kepastian hukum.
Revisi UU Desa ini sekaligus menjadi momentum untuk mengevaluasi bagaimana perubahan legislasi dilakukan, khususnya yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Prinsip kehati-hatian dan partisipasi publik harus selalu menjadi panduan utama dalam setiap perubahan undang-undang.