Amnesty International Indonesia mengkritik pernyataan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen TNI Hariyanto, terkait kasus penembakan yang dilakukan oleh prajurit TNI AL terhadap seorang pemilik rental mobil. Menurut Amnesty, tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Amnesty menegaskan bahwa pelaku seharusnya diproses di pengadilan umum, bukan peradilan militer, karena kasus tersebut merupakan tindak pidana umum.
Dalam keterangan resminya yang disampaikan pada Jumat (10/1), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut bahwa alasan Kapuspen TNI yang mendasarkan pembelaannya pada status militer aktif para pelaku adalah keliru. Ia menegaskan bahwa pandangan tersebut bertentangan dengan lima prinsip hukum yang berlaku di Indonesia.
Pertama, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Ini berarti, semua individu, baik sipil maupun militer, harus diperlakukan setara dalam proses hukum tanpa ada pengecualian.
Kedua, Pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri menyebutkan bahwa prajurit TNI tunduk pada peradilan militer hanya untuk pelanggaran hukum militer, sementara pelanggaran hukum pidana umum harus diproses di peradilan umum.
Ketiga, Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyatakan bahwa prajurit yang melakukan pelanggaran hukum pidana umum tunduk pada peradilan umum, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam undang-undang.
Keempat, Pasal 198 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dari peradilan militer dan peradilan umum secara bersama-sama, harus diperiksa di pengadilan umum, kecuali jika ada keputusan Menteri Pertahanan yang menyatakan sebaliknya dengan persetujuan Menteri Kehakiman.
Kelima, asas hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori, yang berarti bahwa peraturan hukum yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang lebih lama. Dalam konteks ini, TAP MPR tahun 2000 dan UU TNI tahun 2004 memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan UU Peradilan Militer tahun 1997.
Usman Hamid menilai bahwa penggunaan status militer aktif sebagai dasar untuk membela prajurit yang melakukan tindak pidana umum adalah bentuk pelanggaran asas kesetaraan di depan hukum (equality before the law). Ia menambahkan, hal ini memperkuat persepsi masyarakat bahwa ada impunitas atau kekebalan hukum bagi anggota militer, yang justru mencederai rasa keadilan, terutama bagi keluarga korban. “Keadilan harus ditegakkan. Ketimpangan ini tidak boleh terus berlangsung,” tegas Usman.
Lebih lanjut, Usman menyebut bahwa Undang-Undang Peradilan Militer perlu segera direvisi untuk menghilangkan celah hukum yang memungkinkan diskriminasi ini terjadi. Ia merujuk pada Pasal 74 Undang-Undang TNI, yang mengamanatkan bahwa ketentuan mengenai tunduknya prajurit pada peradilan umum hanya berlaku setelah revisi Undang-Undang Peradilan Militer diberlakukan.
“Selama dua dekade, revisi itu tidak pernah diwujudkan. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam menegakkan asas persamaan di depan hukum. Jika terus dibiarkan, keadilan akan semakin jauh dari jangkauan,” tutup Usman.