Chief Economist Permata Bank sekaligus Kepala Permata Institute for Economic Research (PIER), Josua Pardede, menilai kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang hanya diberlakukan pada barang mewah mencerminkan langkah pemerintah untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil.
“Barang mewah dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, sehingga beban pajak menjadi lebih proporsional sesuai kemampuan membayar,” ujar Josua dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan bahwa pengenaan pajak pada barang mewah bertujuan untuk mengendalikan konsumsi barang sekunder atau tersier, sementara kebutuhan pokok tetap terjangkau. Contoh barang yang dikenakan pajak mewah meliputi kendaraan bermotor dan barang konsumsi premium lainnya. “Kebijakan ini memastikan sektor esensial seperti bahan pangan dan kebutuhan dasar tidak terdampak langsung,” tambahnya.
Josua juga mengungkapkan bahwa pembatalan rencana kenaikan PPN untuk sebagian barang dan jasa non-mewah mungkin akan mengurangi ruang fiskal karena penerimaan pajak dari kategori tersebut menjadi terbatas. Namun, penerapan tarif yang lebih rendah, yakni 11 persen untuk barang non-mewah, dapat memberikan dampak positif.
“Tarif PPN yang lebih rendah pada barang non-mewah dapat memperkuat daya beli masyarakat, mendorong konsumsi domestik, dan menggerakkan sektor riil,” jelasnya.
Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk memberlakukan tarif PPN 12 persen mulai 2025 khusus untuk barang dan jasa mewah, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Barang-barang yang dikenakan tarif ini meliputi rumah, apartemen, atau kondominium dengan harga di atas Rp30 miliar, pesawat pribadi, kapal pesiar, yacht, dan kendaraan bermotor mewah.
Di luar kategori tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa tarif PPN untuk barang dan jasa non-mewah tetap berada di angka 11 persen. Sementara itu, bahan pokok seperti pangan tetap dibebaskan dari PPN.
Rincian aturan ini tertuang dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024, yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 31 Desember 2024 dan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025.
Sumber: