Perdagangan elektronik (e-commerce) telah mengalami perkembangan pesat, mentransformasi lanskap ekonomi global termasuk Indonesia. Perkembangan ini menuntut adaptasi regulasi yang mampu menjawab tantangan dan peluang yang ditimbulkan. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia, sejak lahir hingga revisi terakhir, telah berperan signifikan dalam mengatur aktivitas e-commerce. Perlu dikaji sejauh mana regulasi tersebut mampu mengakomodasi dinamika perdagangan digital di era modern, khususnya dalam konteks integrasi ekonomi ASEAN.
UU ITE pertama kali disahkan pada tahun 2008, bertujuan untuk mengatur transaksi elektronik dan aspek hukum yang terkait. Pada masa awal implementasinya, UU ITE lebih fokus pada aspek teknis dan keamanan transaksi elektronik, seperti keabsahan bukti elektronik dan penyelesaian sengketa di ranah digital. Namun, regulasi ini masih tergolong terbatas dalam mengatur secara spesifik aspek-aspek perdagangan elektronik yang berkembang pesat seperti perlindungan konsumen, praktik persaingan usaha yang sehat, dan penanganan kejahatan siber yang berkaitan dengan e-commerce. Ketentuan-ketentuan yang ada seringkali bersifat umum dan kurang rinci, sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam dan kesulitan dalam penegakan hukum.
Revisi UU ITE yang dilakukan pada tahun 2016 berupaya untuk memperkuat beberapa kelemahan tersebut. Revisi ini memasukkan beberapa ketentuan yang lebih spesifik terkait perlindungan data pribadi, hak cipta digital, dan penanganan kejahatan siber. Revisi ini juga menuai kritik karena dianggap masih kabur dalam beberapa aspek, serta kontroversial dalam beberapa pasal yang berkaitan dengan delik pidana, terutama yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi.
Sedangkan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur beberapa hal terkait perdagangan elektronik, di antaranya: Pertama, penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan di lingkup publik maupun privat. Kedua, para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik. Ketiga,transaksi elektronik yang berisiko tinggi bagi para pihak harus menggunakan tanda tangan elektronik yang diamankan dengan sertifikat elektronik. Keempat, pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar terkait dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawar.
UU ITE mengatur tentang penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik, termasuk hak dan kewajiban pengguna internet, perlindungan data pribadi pengguna, dan tindak pidana terkait penyalahgunaan teknologi informasi. Ambiguitas regulasi ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dan kesulitan bagi pelaku usaha e-commerce dalam menjalankan bisnisnya secara legal dan aman.
Kerangka ASEAN
Dalam konteks ASEAN, Indonesia telah berkomitmen untuk mengintegrasikan ekonomi digital melalui berbagai inisiatif, termasuk ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dan ASEAN Agreement on E-Commerce (AAEC). AAEC bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal digital ASEAN yang terintegrasi, dengan prinsip-prinsip transparansi, non-diskriminasi, dan perlindungan konsumen. Implementasi AAEC membutuhkan harmonisasi regulasi di antara negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Perbedaan tingkat perkembangan ekonomi digital dan keragaman sistem hukum di masing-masing negara anggota ASEAN menjadi tantangan yang signifikan dalam mencapai harmonisasi tersebut.
UU ITE, meskipun telah direvisi, masih belum sepenuhnya selaras dengan prinsip-prinsip AAEC. Beberapa ketentuannya masih dianggap ambigu dan berpotensi menghambat perkembangan e-commerce. Contohnya, ketentuan mengenai perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik masih perlu diperkuat dengan mekanisme yang lebih efektif dan terukur. Demikian pula, regulasi mengenai praktik persaingan usaha yang tidak sehat di dunia digital perlu diperjelas untuk mencegah monopoli dan melindungi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).
Penanganan kejahatan siber yang terkait dengan e-commerce juga menjadi isu krusial. Perkembangan teknologi yang cepat menghasilkan modus operandi kejahatan siber yang semakin canggih dan sulit dideteksi. UU ITE perlu diperbarui untuk mengakomodasi perkembangan tersebut dengan memperkuat kemampuan penegak hukum dalam menangani berbagai jenis kejahatan siber, seperti penipuan online, pencurian data, dan pelanggaran hak cipta digital. Kerjasama regional di antara negara-negara ASEAN sangat penting untuk memperkuat kapasitas penegakan hukum dan mempermudah proses ekstradisi dalam menangani kejahatan siber transnasional.
Harmonisasi regulasi perdagangan elektronik di tingkat ASEAN juga membutuhkan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Penegak hukum, pelaku usaha, dan konsumen perlu dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai regulasi perdagangan elektronik dan praktik bisnis yang etis dan berkelanjutan. Program pelatihan dan penyuluhan yang terstruktur perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk mencapai tujuan tersebut.
UU ITE di Indonesia telah mengalami perkembangan dari masa ke masa dalam mengatur perdagangan elektronik. Namun masih perlu diperbaiki dan diharmonisasikan dengan kerangka regulasi ASEAN. Penguatan perlindungan konsumen, peningkatan kejelasan regulasi mengenai persaingan usaha, dan penanganan kejahatan siber yang lebih efektif merupakan aspek-aspek krusial yang perlu diperhatikan.
Harmonisasi regulasi di tingkat ASEAN, beserta peningkatan kapasitas sumber daya manusia, merupakan kunci untuk menciptakan pasar digital ASEAN yang terintegrasi, aman, dan berkelanjutan. Hal ini menuntut komitmen kuat dari pemerintah Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya untuk terus beradaptasi dengan dinamika perkembangan teknologi dan kebutuhan pelaku usaha serta konsumen dalam era digital.