Konflik lahan tambang yang melibatkan masyarakat adat di Muara Kate, Paser, Kalimantan Timur, terus berlarut tanpa penyelesaian yang jelas. Peristiwa ini kembali menyorot isu-isu hak asasi manusia (HAM), terutama terkait perlindungan terhadap hak masyarakat adat yang sering kali terabaikan. Kasus yang mencuat pada Jumat, 15 November 2024, ini dianggap belum mendapatkan perhatian yang memadai, baik dari pemerintah maupun media massa, meskipun potensi dampaknya cukup serius.
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, mengaku belum mengetahui secara rinci perihal konflik tersebut. Ia menilai, minimnya liputan media menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan informasi penting mengenai kasus ini tidak sampai ke pihaknya. Hal tersebut disampaikannya usai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) di Samarinda pada Senin, 16 Desember 2024.
“Saya belum tahu soal kasus ini. Kalau saya belum tahu, berarti media yang kurang mengangkatnya. Bagaimana kita bisa tahu kalau informasinya tidak sampai?” ujar Natalius, sebagaimana dikutip dari Kaltimtoday.co, bagian dari Jaringan Suara.com, pada Rabu, 18 Desember 2024.
Natalius menegaskan bahwa konflik semacam ini sebenarnya tidak berada dalam kewenangan langsung Kementerian HAM. Fokus kementerian tersebut lebih kepada aspek eksekutif, seperti penyusunan regulasi, pengembangan peraturan, dan pembangunan HAM di berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Meski demikian, ia menekankan pentingnya memastikan prinsip-prinsip HAM tetap diterapkan dalam sektor bisnis, terutama industri tambang dan perkebunan yang sering kali menjadi pemicu konflik agraria.
“Perusahaan harus memperhatikan lima aspek HAM, salah satunya partisipasi masyarakat dalam proses perizinan. Ini sangat penting, khususnya untuk melibatkan komunitas lokal dan masyarakat adat dalam setiap tahapannya,” tambah Natalius.
Konflik di Muara Kate mencerminkan betapa seringnya benturan terjadi antara kepentingan bisnis dengan hak-hak masyarakat lokal. Ketidakseimbangan ini kerap memicu potensi kekerasan dan pelanggaran HAM yang serius. Jika dibiarkan berlarut-larut, dampaknya tidak hanya merugikan masyarakat adat, tetapi juga merusak hubungan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat luas.
Sebagai solusi, Natalius mengusulkan agar kasus ini segera dilaporkan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurutnya, Komnas HAM memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan mendalam dan merupakan lembaga yang tepat untuk menangani konflik semacam ini. Ia juga mendorong media dan masyarakat sipil untuk aktif mengawal proses penyelesaian agar tercipta keadilan bagi semua pihak.
“Laporkan segera ke Komnas HAM. Saya yakin mereka adalah jendela terbaik untuk menyelesaikan kasus seperti ini secara adil dan transparan,” tegas Natalius.
Ia berharap ke depan semua pihak, termasuk pemerintah, media, dan perusahaan, dapat lebih proaktif dalam mencegah dan menangani konflik serupa. Prinsip keharmonisan antara kepentingan ekonomi, budaya lokal, dan kelestarian lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan dan praktik bisnis di wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti Kalimantan Timur.