Refleksi atas Pernyataan “Rakyat Jelata” oleh Juru Bicara Kepresidenan

Author PhotoDesi Sommaliagustina
11 Dec 2024
Profil-Adita-Irawati

Pernyataan Adita Irawati, Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, yang menggunakan istilah “rakyat jelata” dalam sebuah konteks publik, memantik perdebatan di kalangan masyarakat. Istilah tersebut, yang sarat dengan nuansa feodal, memunculkan berbagai reaksi, mulai dari kritik atas pilihan kata hingga refleksi lebih dalam terkait relasi antara pemerintah dan rakyat dalam tatanan negara hukum demokratis.

Sebagai negara yang mendasarkan kehidupannya pada Konstitusi, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Salah satu prinsip negara hukum adalah kesetaraan di depan hukum (equality before the law). Dalam konteks ini, tidak ada ruang untuk dikotomi antara “rakyat jelata” dan “elit” karena semua warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum, tanpa diskriminasi.

Pernyataan yang secara implisit mengategorikan rakyat ke dalam strata tertentu berpotensi bertentangan dengan prinsip ini, baik secara substansi hukum maupun moral politik. Penggunaan istilah seperti “jelata” mengingatkan kita pada masa feodal dimana rakyat hanya menjadi subjek kekuasaan, bukan bagian integral dari proses pemerintahan. Padahal, dalam demokrasi modern, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi.

Dari sudut pandang sosiologis hukum, istilah “rakyat jelata” mencerminkan narasi yang dapat memperkuat ketimpangan struktural antara pemerintah dan masyarakat. Narasi semacam ini dikhawatirkan akan mengikis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, terutama di era di mana partisipasi publik sangat diharapkan dalam pengambilan keputusan. Dalam hubungan yang sehat antara pemerintah dan masyarakat, komunikasi publik semestinya mengedepankan kesetaraan, penghormatan, dan pengakuan atas kedaulatan rakyat.

Lebih jauh, pernyataan seperti ini juga menunjukkan pentingnya penguasaan komunikasi politik yang sensitif terhadap perkembangan budaya dan norma sosial masyarakat. Pemerintah, dalam segala bentuk komunikasinya, harus mampu mencerminkan semangat reformasi yang memandang rakyat bukan sebagai objek, tetapi mitra sejajar dalam pembangunan bangsa.

Secara hukum, tidak ada sanksi langsung terhadap penggunaan istilah seperti “rakyat jelata.” Namun, dari perspektif etika publik dan hukum tata pemerintahan yang baik, pernyataan ini mencerminkan kurangnya sensitivitas terhadap nilai-nilai kebangsaan yang menekankan persatuan dan kesetaraan. Hal ini dapat berdampak pada legitimasi moral pemerintah dimata masyarakat.

Penting untuk diingat bahwa pejabat publik adalah representasi negara yang harus menjaga martabat dan kepercayaan rakyat. Dalam menjalankan tugasnya, mereka terikat oleh prinsip-prinsip pelayanan publik, termasuk keadilan, penghormatan, dan profesionalisme.

Melihat fenomena yang terjadi akibat kesalahan dalam pemilihan istilah ataupun kata yang kurang tepat. Untuk itu diperlukannya beberapa perbaikan. Perbaikan itu dapat dilakukan dengan cara. Pertama, dengan melakukan peningkatan literasi komunikasi publik. Hal ini dilakukan agar setiap pejabat yang terlibat dalam komunikasi publik perlu diberikan pelatihan intensif untuk memahami sensitivitas bahasa dan dampaknya terhadap persepsi masyarakat. Kedua, penguatan prinsip kesetaraan. Sudah seharusnya seluruh narasi komunikasi pemerintah harus selalu berpijak pada semangat kesetaraan dan penghormatan terhadap rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Terakhir, harus dilakukannya refleksi institusional. Ini bukan tanpa sebab, terkait pernyataan yang dilakukan oleh seorang jubir komunikasi kepresidenan ini telah menuai kontroversial. Alih-alih memberikan klarifikasi terkait ucapan Gus Miftah malahan menimbulkan masalah baru. Ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah, tokoh publik dan pemangku jabatan untuk merefleksikan kembali cara mereka memandang dan berkomunikasi dengan rakyat.

Dalam konteks negara demokrasi yang berlandaskan hukum, setiap kata yang keluar dari pejabat publik memiliki makna besar bagi rakyat. Pemerintah harus senantiasa memastikan bahwa komunikasinya mencerminkan nilai-nilai konstitusi, menghormati martabat rakyat, dan memperkuat ikatan kebangsaan. Ungkapan seperti “rakyat jelata” seharusnya menjadi pembelajaran bagi semua pihak tentang pentingnya komunikasi yang berbasis kesetaraan dan penghormatan.

Artikel Terkait

Rekomendasi