Hukum positif, atau yang dikenal sebagai ius constitutum, adalah kumpulan norma atau aturan yang secara resmi diakui dan diberlakukan dalam suatu masyarakat pada waktu tertentu. Hukum ini berfungsi untuk mengatur bagaimana individu harus berperilaku satu sama lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Dalam upaya membangun hukum pidana nasional yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta asas hukum umum yang diakui secara internasional, hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, kondisi, dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, materi hukum pidana nasional harus mencerminkan keseimbangan antara berbagai kepentingan, seperti antara kepentingan umum atau negara dengan kepentingan individu; perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana; unsur perbuatan dengan sikap batin; kepastian hukum dengan keadilan; hukum tertulis dengan hukum yang hidup dalam masyarakat; nilai-nilai nasional dengan nilai-nilai universal; serta hak asasi manusia dengan kewajiban asasi manusia.
Sebagai perempuan yang hidup dalam budaya patriarki di Indonesia, akses perempuan terhadap keadilan, kebenaran, dan pemulihan masih jauh dari kenyataan. Kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkosaan dalam perkawinan (marital rape), hubungan seksual sedarah (inses), perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan dan anak-anak (trafficking), pornografi, serta kekerasan atau penyerangan seksual lainnya, masih terjadi secara masif di masyarakat. Banyak perempuan korban kekerasan enggan melaporkan kasusnya ke pihak berwenang karena berbagai alasan, seperti rasa malu akan aib, takut menghadapi stigma masyarakat, ketidaktahuan hukum, serta proses peradilan yang panjang dan melelahkan. Selain itu, belum semua wilayah memiliki lembaga penyedia layanan yang memadai.
Penanganan kasus tindak pidana berbasis gender sering kali hanya menyentuh permukaan, seperti memotong ilalang yang terlihat bersih di atas, tetapi akarnya tetap tumbuh di bawah. Masalah mendasar masih terus berlanjut karena berbagai kendala, termasuk budaya patriarki yang mengakar kuat, kurangnya sensitivitas aparat penegak hukum dalam mendukung korban perempuan, minimnya informasi terkait kekerasan dan lembaga penyedia layanan, serta sistem hukum nasional yang belum sepenuhnya responsif terhadap dinamika masyarakat. Tanpa mengatasi akar permasalahan ini dan memastikan sistem yang mampu mencegah tindak pidana berbasis gender, sulit bagi perempuan korban untuk memperoleh kebenaran, keadilan, dan pemulihan.
Komnas Perempuan melalui Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2023 mencatat bahwa mulai ada pergeseran kecenderungan kasus yang dilaporkan, yang bisa jadi merupakan konsekuensi dari kelahiran payung hukum yang selama ini sangat dibutuhkan korban, yaitu Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Misalnya saja terjadi peningkatan 44 % kasus kekerasan di ranah publik dari tahun sebelumnya. Selain itu terjadi
peningkatan yang signifikan dari pelaporan kasus pelecehan seksual dan pemaksaan aborsi. Demikian juga terjadi peningkatan pelaporan kasus kekerasan di ranah negara, utamanya kasus yang terkait dengan konflik sumber daya alam, tata ruang, dan agraria.
Masyarakat terus berkembang di berbagai bidang kehidupan yang semakin kompleks. Perkembangan ini menuntut pengaturan di berbagai aspek, termasuk di bidang hukum pidana, yang diperlukan untuk memastikan peraturan-peraturan memiliki kekuatan yang ditaati dan memperhatikan kepentingan seluruh pihak agar bermuatan keadilan. Dalam konteks ini, hukum pidana berfungsi sebagai hukum sanksi (bijzonder sanctierecht) dan hukum pembantu (hulprecht).
Kebijakan kriminal dalam penanganan tindak pidana berbasis gender harus berfokus pada perlindungan dan pemberian keadilan yang setara bagi korban kejahatan yang dipengaruhi oleh perbedaan gender, khususnya perempuan. Tindak pidana berbasis gender, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelecehan seksual, dan perdagangan perempuan, menjadi tantangan besar dalam sistem peradilan pidana, mengingat adanya diskriminasi struktural yang dapat memperburuk kondisi korban, yang umumnya perempuan. Kebijakan yang disusun secara sistematis dan adil diperlukan guna memastikan bahwa sistem hukum tidak hanya memberikan hukuman terhadap pelaku, tetapi juga memberikan pemulihan yang efektif bagi korban. Konteks ini melibatkan pembaruan dalam hukum pidana untuk mencakup ketentuan yang lebih sensitif terhadap gender, baik dalam aspek pencegahan, penegakan hukum, maupun pemberian layanan kepada korban.
Dalam praktiknya, kebijakan kriminal berbasis gender membutuhkan pendekatan yang holistik, termasuk peningkatan kapasitas aparat penegak hukum untuk menangani kasus kekerasan berbasis gender dengan sensitivitas dan empati. Proses peradilan harus dirancang sedemikian rupa agar tidak menambah trauma bagi korban, dengan memastikan mereka mendapatkan akses yang lebih mudah terhadap layanan hukum dan psikososial. Selain itu, kebijakan kriminal juga harus melibatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender, guna mengurangi praktik-praktik diskriminatif yang kerap muncul dalam proses hukum.
Pada tingkat kebijakan, penanganan tindak pidana berbasis gender juga perlu mengubah norma sosial dan budaya yang mendukung kontrol terhadap kekerasan berbasis gender, seperti patriarki, yang sering kali memperburuk posisi korban. Untuk itu, kebijakan perlu diintegrasikan dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan, sosial, dan kesehatan, agar tercipta suatu sistem yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan korban, sekaligus menanggulangi tindakan yang dapat memperburuk ketidaksetaraan gender dalam masyarakat.
Opini penulis diatas selaras dengan teori dalam pembaharuan hukum, dimana perumusan aturan harus memperhatikan tiga unsur utama: substansi, struktur, dan tradisi. Substansi hukum mencakup norma-norma dan nilai-nilai yang terkandung dalam aturan hukum. Struktur hukum melibatkan perangkat dan penegak hukum yang kompeten dalam menjalankan proses penegakan hukum. Tradisi hukum mengacu pada kearifan lokal, budaya, dan adat istiadat di mana hukum tersebut diterapkan. Kesadaran hukum menjadi faktor penting yang menentukan keabsahan sebuah aturan hukum. Hal ini sesuai dengan ajaran rechtsgefühl atau rechtsbewusstsein, yang menyatakan bahwa hukum hanya mengikat masyarakat jika didasarkan pada kesadaran hukum mereka.