Responsibility to Protect di negara Arab Saudi

Author PhotoCindy Aura Cahyani
04 Dec 2024
saudinesia.id
saudinesia.id

Apa yang dimaksud dengan “Responsibility to Protect”?
“Responsibility to Protect” adalah sebuah prinsip di dalam hubungan internasional yang bertujuan untuk mencegah pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect) rakyatnya dari empat jenis kejahatan tersebut. Selain itu, komunitas internasional juga mempunyai tanggung jawab untuk membantu negara-negara dalam memenuhi tugasnya tersebut.
Ada tiga pilar untuk menerapkan “Responsibility to Protect”. Setiap pilar adalah penting dan ketiganya dirancang secara berkesinambungan satu sama lain untuk mencegah kejahatan kemanusiaan. Ketiga pilar tersebut yaitu:
1. Tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dari pemusnahan massal (genocide), kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan dari segala macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut.
2. Komitmen komunitas internasional untuk membantu negara-negara menjalankan tanggung jawabnya itu.
3. Tanggung jawab setiap negara anggota PBB untuk merespon secara kolektif, tepat waktu dan tegas ketika suatu negara gagal memberikan perlindungan yang dimaksud.
Mengapa kita memerlukan “Responsibility to Protect”?
Komunitas internasional telah gagal lagi dan lagi untuk melindungi masyarakat dari pemusnahan massal dan juga berbagai kejahatan kemanusiaan massal lainnya, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip “Responsibility to Protect” adalah prinsip yang muncul sehingga setiap negara, dan komunitas internasional, harus melakukan semuanya dalam batas kekuasaannya untuk mencegah kekerasan lebih lanjut. Banyak institusi internasional, khususnya PBB, dibentuk untuk mencegah konflik antar negara. Tetapi, pada akhir Perang Dingin, kebanyakan konflik terjadi di dalam negara, seperti di Somalia, Bosnia dan Burma.
“Responsibility to Protect” diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2005, disertai janji dari komunitas internasional untuk melindungi masyarakat dari pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan kemanusiaan. Mereka sepakat bahwa tiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya sendiri dan bahwa komunitas internasional memiliki kewajiban untuk membantu negara-negara dalam memenuhi tanggung jawab ini. Pada akhirnya, mereka sepakat bahwa, jika sebuah negara gagal untuk melindungi rakyatnya, maka menjadi tanggung jawab komunitas internasional, melalui PBB, untuk melakukan intervensi.
Apakah Arab Saudi sudah menerapkan prinsip Responsibility to Protect ?
Arab Saudi, sebagai negara dengan sistem monarki absolut, memiliki struktur kekuasaan yang terpusat pada Raja sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Raja memiliki kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Dalam konteks prinsip Responsibility to Protect, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana konsep ini diterapkan dalam sistem pemerintahan yang terpusat dan memiliki sejarah panjang dalam menjalankan kekuasaan secara absolut. Meskipun Arab Saudi belum secara eksplisit menyatakan dukungan atau penolakan terhadap Responsibility to Protect, negara ini telah terlibat dalam beberapa operasi militer internasional yang melibatkan perlindungan warga sipil, seperti intervensi militer di Yaman. Namun, keterlibatan ini seringkali dikritik karena dianggap sebagai upaya untuk memperluas pengaruh politik dan ekonomi Arab Saudi di kawasan, bukan semata-mata untuk melindungi warga sipil.
Arab Saudi memiliki potensi untuk menerapkan Responsibility to Protect di Yaman dengan cara :
1. Meningkatkan bantuan kemanusiaan
2. Mendorong gencatan senjata
3. Mendorong dialog dan negosiasi
Namun, Arab Saudi belum sepenuhnya memanfaatkan potensi ini. Kritik terhadap keterlibatan militer Arab Saudi dalam konflik, yang menyebabkan korban sipil dan pelanggaran hak asasi manusia, telah menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Arab Saudi terhadap Responsibility to Protect.
Contoh lain yang dapat dipertimbangkan adalah perlakuan terhadap pekerja migran di Arab Saudi. Arab Saudi memiliki populasi pekerja migran yang besar, banyak dari mereka yang berasal dari negara-negara miskin di Asia dan Afrika. Pekerja migran ini seringkali menghadapi eksploitasi, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Arab Saudi memiliki potensi untuk menerapkan Responsibility to Protect dengan cara meningkatkan perlindungan hak-hak pekerja migran, tetapi masih banyak yang perlu dilakukan dalam hal ini.
Tantangan pemerintah Indonesia dalam mendorong Negara Arab Saudi menerapkan
Responsibility to Protect
Pemerintah memang menghadapai tantangan yang besar dalam realisasi perlindungan TKI di Arab Saudi dengan adanya perbedaan landasan hukum yang dianut, termasuk tata cara beracara yang berlaku antara di Indonesia dan Arab Saudi. Dasar negara yang digunakan Arab Saudi sendiri mengindikasikan bahwa sistem politik yang diakui tidak mengadopsi hukum internasional, seperti dalam penerapan isu HAM dan gender karena Arab Saudi tidak ikut meratifikasi semua konvensi yang menyangkut dua isu tersebut. Akibatnya banyak kasus TKI di Arab Saudi diselesaikan menurut wewenang pemerintah setempat dan posisi pemerintah Indonesia tidak bisa mengintervensi keputusan yang mereka ambil. Kemudian Peran Agama memegang peranan penting dalam budaya dan politik Arab Saudi. Interpretasi agama yang berbeda dapat mempengaruhi penerapan Responsibility to Protect, terutama dalam hal hak-hak perempuan dan minoritas. Selanjutnya Perbedaan Pandangan, Negara-negara anggota PBB memiliki perbedaan pandangan tentang Responsibility to Protect. Beberapa negara berpendapat bahwa Responsibility to Protect dapat digunakan sebagai justifikasi untuk intervensi militer, sementara yang lain menekankan pentingnya solusi diplomatik dan non-militer. Selanjutnya Budaya Politik Arab Saudi memiliki budaya politik yang lebih konservatif dan cenderung mengutamakan keamanan nasional dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini dapat membuat Arab Saudi enggan menerima prinsip Responsibility to Protect yang menekankan intervensi internasional dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Masalah ini menjadi sangat menarik melihat nota kesepakatan yang sampai sekarang belum terumuskan dalam sebuah perjanjian dengan Arab Saudi memunculkan masalah baru bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan dalam penanganan TKI. Meskipun pemerintah Indonesia mempunyai tantangannya besar, Indonesia perlu terus berupaya untuk mendorong Arab Saudi menerapkan Responsibility to Protect. Hal ini penting untuk melindungi hak asasi manusia dan mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di masa depan.

Kesimpulan

Responsibility to Protect di Arab Saudi merupakan topik yang kompleks dan kontroversial. Penerapan konsep ini dalam konteks sistem pemerintahan yang terpusat dan memiliki sejarah panjang dalam menjalankan kekuasaan secara absolut memerlukan analisis yang mendalam dan kritis. Penting untuk mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk sejarah politik dan sosial Arab Saudi, kebijakan luar negeri negara ini, dan peran komunitas internasional dalam mendorong penerapan Responsibility to Protect di negara tersebut.

Artikel Terkait

Rekomendasi