Ahli pidana yang dihadirkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), Profesor Hibnu Nugroho, mengaku tidak mengetahui siapa yang menyusun affidavit yang diajukan dalam sidang praperadilan Tom Lembong. Affidavit tersebut, yang seharusnya berisi pernyataan resmi ahli, justru menimbulkan berbagai pertanyaan dan kecurigaan, termasuk dari Hibnu sendiri terkait keaslian dan keakuratan isinya.
Dalam konteks hukum, affidavit adalah dokumen pernyataan fakta yang telah disumpah dan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan. Namun, dalam kasus ini, Hibnu menegaskan bahwa ia hanya menulis beberapa poin jawaban yang diminta oleh jaksa untuk memberikan penjelasan. Profesor dari Universitas Jenderal Soedirman tersebut menyatakan dirinya tidak pernah membuat affidavit sebagaimana yang disampaikan oleh Kejagung di persidangan.
Hibnu menyebut bahwa ia menyusun lima poin jawaban berdasarkan pertanyaan yang diajukan jaksa. Namun, ia merasa heran ketika jumlah poin tersebut berubah menjadi sembilan saat diajukan di pengadilan. “Saya hanya membuat lima poin, kok bisa jadi sembilan?” ujarnya, Jumat, 22 November 2024. Lebih lanjut, Hibnu juga merasa bingung mengapa poin-poin dalam affidavit yang diajukan di sidang memiliki kesamaan identik dengan keterangan dari ahli pidana lain, Taufik Rachman. “Saya tidak tahu mengapa bisa sama persis. Tapi saya bisa pastikan bahwa saya menulis berdasarkan pertanyaan jaksa,” tegas Hibnu.
Di sisi lain, kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menyebut affidavit dari kedua ahli pidana yang dihadirkan oleh Kejagung tersebut memiliki kesamaan yang sangat mencolok hingga menyerupai plagiasi. Ari menuding bahwa baik Hibnu Nugroho maupun Taufik Rachman saling menyalin isi affidavit, termasuk struktur, titik, koma, hingga penggunaan istilah teknis. “Saya ingin tahu, siapa yang menyontek? Apakah ini karya asli? Ini menyangkut kredibilitas akademik,” kata Ari di hadapan hakim.
Ari menegaskan bahwa pihaknya tidak dapat menerima keterangan affidavit tersebut karena dianggap meragukan kredibilitas kedua ahli. Ia menambahkan bahwa masalah ini menunjukkan ketidaksesuaian prosedur yang serius. Akibatnya, hakim tunggal Tumpanuli Marbun memutuskan untuk mengembalikan affidavit kepada kedua ahli dari Kejagung. Hakim menyatakan bahwa pengadilan akan hanya mempertimbangkan keterangan saksi ahli yang diberikan secara langsung dalam sidang, bukan dari dokumen tertulis yang bermasalah.
Situasi ini memicu respons keras dari Ari yang mengancam akan melaporkan kedua ahli pidana tersebut ke pihak kepolisian. Ia menyebut bahwa plagiasi dalam affidavit tidak dapat diterima, terutama dalam proses hukum yang begitu penting. “Kesamaannya terlalu mencolok. Hampir semua isinya identik, termasuk tanda baca dan istilah-istilahnya,” ujar Ari.
Mantan affidavit tersebut semakin menambah sorotan terhadap kredibilitas pihak Kejagung dalam kasus ini. Ari berharap insiden ini menjadi pelajaran untuk memperkuat akuntabilitas dan transparansi dalam pengajuan alat bukti di persidangan. Sementara itu, Profesor Hibnu dan Taufik belum memberikan tanggapan lebih lanjut mengenai rencana laporan tersebut.