Kasus tragis yang terjadi di Solok Selatan, dimana seorang anggota kepolisian diduga menembak rekannya hingga tewas, kembali menjadi sorotan publik. Peristiwa ini tidak hanya memunculkan duka, tetapi juga menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar terkait penegakan hukum, tata kelola institusi, dan akuntabilitas di tubuh Polri.
Kasus ini termasuk dalam tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan berat yang menyebabkan kematian, sebagaimana diatur dalam Pasal 338 dan Pasal 351 ayat (3) KUHP. Jika terbukti adanya niat untuk menghilangkan nyawa, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Selain itu, sebagai anggota Polri, pelaku juga dapat dijatuhi sanksi etik sesuai Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri.
Namun, penanganan kasus ini memerlukan perhatian khusus. Sebagai aparat penegak hukum, pelaku memiliki akses terhadap senjata api yang seharusnya digunakan untuk melindungi masyarakat, bukan sebagai alat kekerasan personal. Fakta ini menegaskan perlunya penegakan hukum yang transparan dan independen untuk memastikan tidak ada perlakuan istimewa hanya karena status pelaku sebagai polisi.
Kasus ini juga membuka ruang diskusi terkait lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap penggunaan senjata api di lingkungan kepolisian. Sesuai Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2022 tentang Penggunaan Senjata Api, setiap anggota yang membawa senjata harus melalui evaluasi psikologis dan pelatihan berkala. Apakah pelaku dalam kasus ini telah memenuhi syarat tersebut?
Jika tidak, hal ini menunjukkan kegagalan sistem pengawasan internal yang berpotensi menimbulkan tragedi serupa di masa depan. Kasus ini juga mengandung dimensi etik dan profesionalisme institusi. Sebagai anggota Polri, pelaku tunduk pada Kode Etik Profesi Polri (KEPP). Pelanggaran etik ini dapat berujung pada sanksi administratif, seperti pemecatan tidak dengan hormat (PTDH).
Peristiwa ini juga menyoroti urgensi penataan ulang sistem pengelolaan senjata api di lingkungan Polri. Dalam tugasnya, anggota Polri diberikan kewenangan untuk membawa senjata api. Namun, kewenangan ini harus disertai dengan kontrol ketat dan evaluasi berkala. Kasus ini mencerminkan kebutuhan akan transparansi dan akuntabilitas Polri dalam menangani anggotanya yang terlibat dalam tindakan kriminal. Penanganan yang lamban atau cenderung melindungi pelaku hanya akan merusak citra institusi. Oleh karena itu, Polri harus menunjukkan komitmennya dalam menegakkan hukum, termasuk terhadap anggotanya sendiri.
Insiden ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga soal moralitas dan profesionalisme aparat kepolisian. Sebagai bagian dari institusi yang diharapkan menjadi pelindung masyarakat, tindakan seperti ini mencoreng citra Polri di mata publik. Kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian yang sudah tergerus oleh berbagai kasus akan semakin menurun jika Polri gagal menunjukkan langkah tegas dan adil dalam menangani pelaku.
Kasus penembakan di Solok Selatan adalah cerminan dari masalah sistemik dalam institusi kepolisian yang perlu segera diatasi. Penegakan hukum yang tegas, transparansi dalam proses hukum, dan reformasi internal menjadi langkah mutlak agar Polri mampu memulihkan citra dan kepercayaan masyarakat.
Pada akhirnya, keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus terlihat ditegakkan. Tidak cukup hanya menghukum pelaku, reformasi sistemik harus dilakukan untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang. Polri, sebagai institusi penegak hukum, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kepercayaan masyarakat melalui langkah-langkah konkret, tegas, dan berintegritas.