Netralitas aparatur negara, termasuk pejabat daerah, anggota TNI, dan Polri, merupakan prinsip fundamental dalam sistem demokrasi. Prinsip ini berakar pada gagasan bahwa aparatur negara harus menjadi pelayan publik yang bebas dari pengaruh politik praktis untuk menjaga integritas, transparansi, dan keadilan dalam proses demokrasi. Dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada), netralitas menjadi kunci untuk memastikan bahwa seluruh tahapan pemilihan berjalan tanpa intervensi atau penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak yang memiliki kedudukan strategis. Penegakan netralitas juga sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Dalam teori hukum administrasi, penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur negara dikenal dengan istilah detournement de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang. Aparatur yang melanggar netralitas telah bertindak di luar kewenangan yang seharusnya digunakan untuk melayani masyarakat. Selain itu, menurut teori due process of law, setiap tindakan negara harus dilakukan secara sah dan adil. Ketika pejabat negara atau aparat keamanan menggunakan posisinya untuk memengaruhi hasil pilkada, mereka tidak hanya melanggar prinsip keadilan prosedural tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambahkan pejabat daerah dan anggota TNI/Polri sebagai subjek hukum dalam Pasal 188 UU 1/2015 mencerminkan penerapan teori judicial activism. MK dalam hal ini tidak sekadar menafsirkan norma hukum secara sempit, tetapi juga menyesuaikan norma tersebut agar sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan prinsip-prinsip konstitusi. MK berlandaskan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak atas kepastian hukum yang adil, serta Pasal 71 UU 10/2016 yang mewajibkan aparatur negara untuk bersikap netral selama pemilihan berlangsung.
Dari perspektif norma hukum, putusan ini memberikan kepastian bahwa ketidaknetralan tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran etik semata tetapi juga tindak pidana. Sanksi pidana yang diatur, yakni penjara dan/atau denda, menunjukkan bahwa pelanggaran netralitas merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Dalam konsep rule of law, norma hukum harus memiliki daya paksa untuk menjaga ketertiban dan keadilan. Dengan memperluas subjek hukum dalam Pasal 188 UU 1/2015, MK menegaskan bahwa prinsip keadilan tidak boleh dikompromikan dalam proses demokrasi.
Putusan ini juga mencerminkan pandangan konstitusionalisme modern, di mana hukum berfungsi sebagai alat untuk melindungi hak-hak dasar rakyat, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu yang jujur dan adil. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menekankan bahwa kepastian hukum yang adil adalah hak dasar yang harus dijamin oleh negara. Hal ini menunjukkan bahwa netralitas aparatur negara adalah bagian integral dari sistem pemilu yang demokratis dan berkeadilan.
Dengan demikian, putusan MK ini memberikan landasan kuat untuk memperkuat netralitas aparatur negara dan menjadi pedoman bagi para pemangku kepentingan dalam memastikan proses pilkada berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi yang sehat.