Khairul Fahmi Menolak Kembali Menjabat, Ada Makna Tersirat di Balik ini Semua

Author PhotoDesi Sommaliagustina
14 Nov 2024
31x4fxzsxpbm2tg

“Jabatan itu amanah yang harus dijaga, tapi tidak perlu harus dipertahankan dengan gigih. Sebab saya yakin jalan pengabdian tidak hanya satu, tapi banyak,”- Khairul Fahmi

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang yang memenangkan Dr. Khairul Fahmi atas gugatan pembatalan Surat Keputusan (SK) pemberhentiannya sebagai Wakil Rektor II Universitas Andalas (Unand) bukan hanya menjadi kemenangan pribadi, tetapi juga menjadi preseden penting bagi tata kelola perguruan tinggi di Indonesia. Namun, meskipun berhasil memulihkan hak hukumnya, Khairul Fahmi memilih untuk tidak kembali menjabat. Keputusan ini mengundang perdebatan, baik dari sisi hukum maupun aspek moralitas administrasi.

Dalam konteks hukum administrasi, putusan PTUN memiliki kekuatan untuk mengembalikan hak seseorang yang dirugikan oleh keputusan pejabat tata usaha negara yang dianggap sewenang-wenang atau tidak berdasar. Pengadilan memutuskan bahwa SK pemberhentian Khairul Fahmi tidak sah karena tidak memenuhi syarat formal maupun material, serta dipengaruhi oleh faktor-faktor yang diduga berdasarkan tekanan eksternal tanpa landasan yuridis.

Penolakan Khairul Fahmi untuk kembali menjabat, meskipun secara hukum ia berhak, menunjukkan sikap tegas terhadap praktik tata kelola yang dianggap menyimpang. Sikap ini mengindikasikan bahwa meskipun putusan pengadilan telah mengembalikan kedudukannya secara hukum, ada persoalan lebih mendalam terkait integritas dan keadilan dalam proses administratif di Unand.

Keputusan Khairul Fahmi ini juga menjadi kritik tersirat terhadap tata kelola di universitas yang ada di Indonesia. Dalam lingkungan akademik, integritas dan objektivitas dalam pengambilan keputusan sangat krusial. Penolakan tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap sistem yang dinilai rentan terhadap intervensi dan keputusan yang bersifat “suka-suka” tanpa memperhatikan prinsip-prinsip good governance.

Kasus ini mencerminkan bahwa sistem manajemen perguruan tinggi harus tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), termasuk asas legalitas, kepastian hukum, dan proporsionalitas. Jika keputusan penting seperti pemberhentian pejabat kampus dilakukan tanpa dasar yang jelas dan hanya karena tekanan tertentu, hal ini akan merusak kepercayaan terhadap lembaga pendidikan tinggi.

Meskipun secara hukum Khairul Fahmi berhasil mengembalikan posisinya, penolakannya untuk menjabat lagi menunjukkan dilema etis yang ia hadapi. Ada pertanyaan mendasar tentang apakah seseorang harus menerima kembali jabatan yang diberikan sebagai hasil dari proses yang dianggap cacat secara moral dan prosedural.

Dalam hal ini, Khairul Fahmi tampaknya lebih memilih untuk menjaga integritas pribadinya daripada tunduk pada mekanisme yang dianggap tidak adil. Sikap ini juga bisa dilihat sebagai bentuk pengorbanan pribadi demi mendorong perbaikan sistemik dalam pengelolaan universitas. Penolakan ini seharusnya menjadi sinyal bagi pihak-pihak terkait untuk melakukan evaluasi dan pembenahan dalam mekanisme pengambilan keputusan di perguruan tinggi.

Penolakan Khairul Fahmi memiliki dampak hukum yang signifikan. Meskipun putusan PTUN mengembalikan jabatannya, penolakannya membuka ruang bagi interpretasi lebih lanjut mengenai hak pejabat yang diberhentikan secara tidak sah tetapi memilih tidak kembali. Dalam perspektif hukum, hal ini bisa memunculkan pertanyaan tentang kompensasi atau langkah perbaikan lain yang bisa diambil oleh pihak universitas untuk menghindari gugatan serupa di masa depan.

Dari sudut pandang praktis, kasus ini memberikan pelajaran penting bagi para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan tinggi; pengambilan keputusan yang tidak berdasar dan cenderung sewenang-wenang akan berakhir pada proses litigasi yang melelahkan dan mengganggu stabilitas kelembagaan. Keputusan Khairul Fahmi untuk tidak kembali menjabat adalah cerminan sikap tegas terhadap praktik yang tidak adil dalam tata kelola perguruan tinggi.

Meskipun secara hukum ia berhasil, pilihan untuk tidak kembali menjabat menunjukkan bahwa ada dimensi moral dan etis yang lebih penting daripada sekadar memenangkan kasus di pengadilan. Hal ini seharusnya menjadi momentum bagi perguruan tinggi di Indonesia untuk berbenah, memastikan setiap keputusan diambil dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Bukan karena faktor x seperti kedekatan, ketidaksenangan pribadi atau golongan. Yang berujung terjadinya permasalahan pada tata kelola perguruan tinggi. Semoga hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita bersama kedepannya.

Artikel Terkait

Rekomendasi