Mengungkap Luka Lama Sistem Peradilan Kita

Author Photoportalhukumid
13 Nov 2024
Dr. Firdaus Arifin S.H., M.H (hukum.unpas.ac.id).
Dr. Firdaus Arifin S.H., M.H (hukum.unpas.ac.id).

Kasus yang menimpa mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, kembali mengangkat ke permukaan berbagai persoalan lama dalam sistem peradilan Indonesia. Kejaksaan Agung mengungkap keterlibatan Zarof dalam praktik “makelar kasus,” yang diyakini telah berlangsung lama dan terstruktur. Sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Hukum dan Peradilan di MA, Zarof diduga memanfaatkan posisinya untuk memengaruhi jalannya perkara hukum, bahkan melibatkan suap dalam beberapa kasus besar untuk membebaskan tersangka.

Saat penggeledahan di kediamannya, ditemukan barang bukti yang mencengangkan: uang tunai hampir mencapai Rp 1 triliun serta emas batangan dengan total berat 51 kilogram. Temuan ini semakin memperjelas adanya praktik korup yang telah mengakar, menggerus nilai keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi peradilan. Tak heran jika masyarakat semakin mempertanyakan kredibilitas lembaga peradilan yang justru sering berada di garda depan penegakan hukum.

Fenomena “makelar kasus” sesungguhnya bukan hal baru di ranah hukum Indonesia. Praktik ini membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk “menawar” putusan pengadilan, sehingga mencederai asas independensi dan keadilan. Di kasus Zarof, makelar kasus melibatkan janji-janji pengaruh dalam penentuan putusan yang mencerminkan bentuk pelanggaran etika dan hukum secara terang-terangan. Realitas ini mengindikasikan bahwa jalur hukum dapat dinegosiasikan—suatu bentuk pelecehan terhadap independensi peradilan yang semakin mengikis rasa percaya masyarakat pada sistem peradilan yang adil.

Kasus ini bukan hanya menggerus reputasi MA, tetapi juga memperlihatkan bahwa hukum tidak lagi sepenuhnya netral. Ketika keadilan dapat diperjualbelikan, rakyat yang seharusnya terlindungi oleh hukum justru menjadi korban dari praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini berpotensi memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia.

Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan adalah fondasi utama bagi legitimasi hukum yang ditegakkan. Jika masyarakat kehilangan kepercayaan, maka fungsi hukum sebagai penjaga keadilan akan runtuh. Kasus Zarof, dengan praktik makelar kasus yang terjadi di lingkup MA, sangat memprihatinkan, terutama karena MA seharusnya menjadi benteng terakhir dalam memastikan keadilan. Jika lembaga tertinggi peradilan saja rentan terhadap manipulasi, bagaimana dengan pengadilan-pengadilan di tingkat bawah?

Momentum ini menjadi penting untuk mengevaluasi kembali proses reformasi peradilan di Indonesia. Sejauh mana reformasi ini telah diterapkan secara nyata? Apakah berbagai perubahan yang diterapkan selama ini hanya bersifat kosmetik ataukah sudah menyentuh masalah inti dalam sistem peradilan? Pertanyaan-pertanyaan ini mendesak untuk dijawab, guna mencegah munculnya kembali praktik-praktik makelar kasus di masa depan.

Lalu, apa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah kejadian serupa? Pengawasan internal yang lebih kuat dan seleksi pejabat berbasis meritokrasi merupakan langkah yang harus segera diambil. Posisi strategis dalam peradilan, terutama yang memiliki akses besar dalam pengambilan keputusan, harus dipegang oleh individu dengan integritas tinggi dan komitmen terhadap nilai-nilai keadilan.

Selain pengawasan internal, penting pula adanya peran lembaga eksternal, seperti Kejaksaan Agung, yang lebih proaktif dalam mengawasi kinerja peradilan. Dalam kasus Zarof, keterlibatan Kejaksaan Agung menunjukkan bahwa pengawasan dari luar terbukti efektif untuk menindak pelanggaran di dalam institusi peradilan. Namun, untuk memastikan pengawasan eksternal ini lebih maksimal, dukungan regulasi dan keberanian untuk mengungkap praktik buruk di MA harus terus diperkuat.

**Reformasi yang Bersifat Sistemik**

Reformasi dalam tubuh peradilan seharusnya tidak hanya terbatas pada perbaikan aturan atau langkah-langkah administratif semata. Reformasi yang substansial perlu menyentuh akar persoalan seperti transparansi, akuntabilitas, dan independensi dalam pengambilan keputusan di tubuh peradilan. Dengan reformasi menyeluruh, harapan masyarakat terhadap peradilan yang benar-benar berfungsi sebagai penjaga keadilan bisa terwujud.

Masyarakat mengharapkan tindakan nyata dan bukan sekadar janji perubahan dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait dalam memperbaiki sistem peradilan. Reformasi yang hanya menambahkan aturan tanpa pelaksanaan yang konsisten justru akan memperpanjang praktik korupsi dalam lembaga yang seharusnya menjadi panutan keadilan. Ini saat yang tepat bagi MA untuk melakukan pembenahan besar-besaran, meninjau kembali seluruh mekanisme pengawasan, dan memastikan bahwa pejabat di dalamnya tidak tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan.

Kasus Zarof Ricar adalah alarm keras bagi kita semua. Jika tidak segera diambil tindakan konkret, maka visi hukum yang independen dan berintegritas hanya akan menjadi sebuah angan-angan. Momentum ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk menciptakan reformasi sistemik yang lebih mendalam dan berdampak nyata bagi sistem peradilan. Jangan sampai kasus Zarof hanya menjadi satu dari sekian banyak kasus yang berakhir tanpa ada perubahan signifikan.

Masyarakat membutuhkan bukti nyata, bukan sekadar janji perubahan. Membersihkan lembaga peradilan dari oknum-oknum seperti Zarof adalah langkah awal untuk membangun kembali kepercayaan publik. Hanya dengan cara ini kita bisa menciptakan sistem peradilan yang benar-benar adil dan menjadi harapan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sumber:
https://news.detik.com/kolom/d-7633167/membuka-borok-lama-peradilan-kita

Artikel Terkait

Rekomendasi