Ketegangan China dan ASEAN di Laut China Selatan, Tantangan bagi Kedaulatan dan Hukum Internasional

Author PhotoDesi Sommaliagustina
12 Nov 2024
7abaad6a-f7c9-4675-98b6-2e96d956616a_w408_r1

Ketegangan antara China dan beberapa negara anggota ASEAN terkait sengketa Laut China Selatan semakin memanas. Isu ini telah lama menjadi konflik yang berulang, memicu ketidakpastian di wilayah strategis tersebut. Negara-negara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei terlibat dalam klaim yang bersaing dengan China, yang mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan melalui Nine-Dash Line, klaim yang telah dianggap tidak sah oleh putusan Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016.

Dalam konteks hukum internasional, ketegangan ini menguji penerapan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS). UNCLOS menetapkan hak dan yurisdiksi negara-negara pesisir terkait zona ekonomi eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut dari garis pantai mereka. Namun, China mengklaim wilayah yang jauh melampaui batas ZEE melalui Nine-Dash Line, yang didasarkan pada catatan sejarah, bukan pada ketentuan UNCLOS.

Putusan Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 yang menguatkan hak-hak Filipina di beberapa bagian Laut China Selatan menjadi titik penting dalam menilai klaim China. Meski putusan ini bersifat mengikat, China menolak untuk mengakuinya, mengklaim bahwa arbitrase tersebut tidak sah. Hal ini menimbulkan preseden yang buruk bagi penghormatan terhadap hukum internasional dan merusak kredibilitas mekanisme penyelesaian sengketa yang sah.

Negara-negara ASEAN yang terlibat dalam sengketa ini menghadapi dilema besar. Di satu sisi, mereka harus mempertahankan klaim kedaulatan dan hak-hak maritim mereka sesuai UNCLOS. Di sisi lain, ada tekanan politik dan ekonomi yang signifikan dari China, mengingat posisi China sebagai mitra dagang utama bagi banyak negara ASEAN. Dampak bagi negara ASEAN, seperti Filipina, negara ini telah mengambil pendekatan yang lebih konfrontatif, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Marcos Jr., dengan memperkuat kerja sama militer bersama Amerika Serikat untuk melindungi hak-haknya di ZEE mereka. Hal ini memperlihatkan upaya Filipina untuk meningkatkan daya tawar hukum dan militer terhadap klaim China yang dianggap agresif.

Sedangkan negara Vietnam juga secara aktif menolak klaim China, sering kali terlibat dalam konfrontasi langsung di perairan sengketa. Vietnam menuntut penghormatan penuh terhadap UNCLOS, dan telah memperkuat pertahanannya di Laut China Selatan sambil mencoba menjaga hubungan ekonomi yang tetap stabil dengan China. Lain halnya dengan negara Malaysia, cenderung lebih berhati-hati, mengutamakan diplomasi meskipun mengajukan protes terhadap aktivitas eksplorasi China di ZEE-nya. Pendekatan Malaysia menunjukkan strategi ganda, yakni menjaga hubungan baik dengan China sambil menuntut pengakuan atas hak maritimnya. Tentunya hal ini yang terjadi di beberapa negara ASEAN ini, sebagai salah satu bentuk gagalnya ASEAN dalam mengatasi konflik dan tantangan besar menantinya.

Dalam menghadapi tantangan besar ini ASEAN, suka tidak suka harus berani menghadapi tantangan besar. Untuk mencapai posisi yang bersatu terkait konflik yang terjadi saat ini. Mekanisme penyelesaian sengketa yang ada di ASEAN, termasuk Treaty of Amity and Cooperation serta pembahasan Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan, sering kali terhambat oleh perbedaan kepentingan antar negara anggota. Beberapa negara lebih memilih pendekatan diplomatis dan tidak ingin memprovokasi China, sementara yang lain mendesak sikap tegas demi mempertahankan kedaulatan mereka.

Kegagalan ASEAN untuk menyelesaikan sengketa ini secara kolektif menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas organisasi tersebut dalam menghadapi isu yang melibatkan kekuatan eksternal. Ketidakmampuan ASEAN dalam menegakkan norma hukum dan kesepakatan bersama dapat merusak kredibilitasnya sebagai organisasi regional yang menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dan penghormatan terhadap hukum internasional.

Ketegangan di Laut China Selatan menuntut pendekatan yang lebih kuat dari negara-negara ASEAN dalam menegakkan hukum internasional. Pengakuan penuh terhadap UNCLOS adalah langkah pertama yang harus diprioritaskan oleh seluruh pihak, termasuk China. ASEAN perlu mempercepat perumusan Code of Conduct yang mengikat secara hukum untuk menghindari konfrontasi militer dan memastikan eksplorasi sumber daya dilakukan secara adil dan legal.

Sebagai organisasi yang mewakili kepentingan bersama di Asia Tenggara, ASEAN juga harus menunjukkan solidaritas yang lebih besar dalam menghadapi tekanan dari kekuatan eksternal. Tanpa penegakan hukum yang jelas, ketegangan di Laut China Selatan akan terus berlanjut, mengancam stabilitas regional dan menghambat upaya kerja sama yang lebih luas di bidang ekonomi dan keamanan. Dengan demikian, langkah konkret seperti peningkatan komunikasi antar negara anggota, serta diplomasi yang menekankan penghormatan terhadap prinsip hukum internasional, menjadi kunci untuk menyelesaikan konflik ini dengan damai dan adil.

Artikel Terkait

Rekomendasi